PALU, KAIDAH.ID – Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura, akan membentuk Tim Penyelesaian Konflik Agraria terkait kasus kematian Erfaldi (21) korban tewas dalam aksi penolakan perusahaan tambang di Parigi Moutong.

Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Sulawesi Tengah, Dedi Askary merespon positif rencana gubernur tersebut.

Meski begitu, Komnas HAM-RI Perwakilan Sulteng mengingatkan, agar gubernur tidak hanya karena atas dasar terciptanya jaminan kepastian hukum terhadap Investasi, tetapi yang paling penting adalah kehadiran investasi dapat memberikan jaminan kepastian hukum terhadap masyarakat.

“Pemanfaatan ruang atas pengelolaan sumber daya alam (PSDA) oleh para Investor dalam berinvestasi di Sulteng dapat dipastikan tidak merampas aset-aset lroduksi dan sumber-sumber penghidupan masyarakat,” tegas Dedi Askary.

Menurut Dedi, itu menjadi penting karena berkaitan erat dengan nestapa yang terjadi dan menimpa masyarakat Sulawesi Tengah sehubungan dengan perilaku atau praktik-praktik curang para pemilik modal untuk mendapatkan rente dalam menjalankan usaha mereka di Sulteng.

Dedi menyontohkan, dampak dan keluhan rantai pasok PT ANA di Morowali Utara, dikecam oleh masyarakat setempat karena merambah tanah mereka yang sah sejak tahun 1994 di Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara.

“Perusahaan dikecam karena mengerahkan aparat untuk memberangus penolakan petani. Petani Desa Molino menuduh perusahaan melakukan perampasan dengan kekerasan atas 996 hektare lahan mereka,” ujarnya.

Pada 2006-2007 dengan menggunakan izin lokasi (pembebasan lahan) yang diduga kuat ilegal dan curang.

“Perusahaan juga disalahkan, karena menempatkan tentara di konsesinya untuk mengintimidasi dan menindas masyarakat,” sebut Dedi Askary.

PT ANA, menurut Dedi, terus-menerus mengambil tindakan hukum yang berupaya mengkriminalisasi penduduk desa, dengan menuduh mereka mencuri buah sawit perusahaan, ketika petani menegaskan bahwa buah tersebut ditanam di tanah mereka sendiri yang dirampas oleh perusahaan.

Selain itu, Komnas HAM Perwakilan Sulteng juga menilai, perusahaan-perusahaan dalam grup AALI, diduga telah merampas tanah masyarakat adat Kaili Tado di Desa Mbulava dan menyewa satuan polisi bersenjata (Brimob) agar perusahaan dapat secara paksa memperoleh tanah masyarakat di Desa Taviora, Minti Makmur, Tinuaka dan Rio Mukti, di Kabupaten Donggala.

“Di Desa Minti Makmur, warga mencoba membela diri dengan merampas senjata Brimob, tiga warga desa dipenjara selama empat bulan, karena melindungi masyarakatnya. Selain itu, kepala desa menghilang dan beredar spekulasi ia diculik,” sebut Dedi Askary.

Banyak lagi kasus lain, kata Dedi, yang membuat darah rakyat menetes, karena pihak perusahaan menggunakan aparat bersenjata untuk menyelesaikan soalan mereka.

“Sebut saja bentrok masyarakat dan aparat kepolisian di lokasi pengeboran minyak lepas pantai di Tiaka Kecamatan Mamosalato, Senin, 22 Agustus 2011, merenggut dua korban meninggal dunia Kedua korban itu adalah Marten Datu Adam (31) dan Yurifin (19),” jelasnya.

Satu dari Lima penembakan oleh oknum polisi di Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala juga meninggal dunia.

Ada juga kasus bentrok yang berujung penembakan aparat kepolisian terhadap lima warga saat berunjuk rasa menolak keberadaan PT Cahaya Manunggang Abadi. Dalam peristiwa tersebut, satu dari lima orang yang tertembak dan meninggal dunia saat dirawat di rumah sakit.

Di Buol, pada Sabtu, 19 April 2014 silam, warga dan aparat keamanan terlibat bentrok, yang mengakibatkan satu orang warga tertembak.

“Banyak kasus lain yang harus diselesaikan. Maka tim yang dibentuk gubernur nanti, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi penyelesaian konflik agraria tersebut,” tandas Dedi Askary. (*)