“Memang, cara memanggangnya berbeda seperti kita membakar ikan. Kalau ikan pupu jaraknya diatur sedemikian rupa agar matangnya merata dan kulitnya kelihatan coklat keemasan,” kata Arni Bimadu.

Dia mengatakan, bara api juga harus dijaga, agar tidak menyala, karena akan menghanguskan ikan yang sedang difufu atau diasapi itu.

Ny. Arni melakoni usaha ikan pupu itu, selain untuk memenuhi permintaan konsumen,  juga dijajakan di wilayah yang berdekatan dengan wilayah pegunungan.

“Harga ikan pupu bervariasi, mulai dari Rp10.000 per tiga ekor sampai Rp10 ribu per empat ekor, tergantung ukuran,” katanya.

IKAN PUPU – Orang Banggai menyebutnya ikan pupu, orang Ternate dan Manado menyebutnya ikan fufu dan orang Ambon menyebutnya ikan asar | Foto: Subarkah/Kaidah

Ikan Pupu Suir-suir

Matahari mulai masuk ke peraduan. Ny. Arni mulai sibuk di dapur menyiapkan makan malam bagi para pendamping dari ROA.

“Malam nanti kita makan ikan pupu suir-suir saus tomat. Pasti kamu akan batambah (nambah) makannya. Saya juga siapkan ikan pupu dimasak santan,” ujar Ny. Arni kepada para pendamping dari ROA.

Hidangan makan malam di meja makan sudah siap. Ny. Arni menyiapkan nasi putih, pisang rebus, ikan bakar dan ikan pupu suir-suir saus tomat.  

“Wuihhh lezatnya. Sungguh makan malam yang nikmat.  Bu, saya mau ikan pupu dibawa ke Pulo Dua saat kami kemping di sana, nanti sekalian juga saat kami pulang ke Palu,” pesan Abal, bossnya ROA.

Lain lagi dengan Muhammad Isnaeni,  memosting proses pembuatan ikan pupu sampai siap dimakan ke media sosial. Alhasil tak sedikit yang meminta padanya untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Otomatis membuat Ny. Arni sibuk, karena harus melayani pesanan tambahan untuk dibawa ke Palu.

Dia berharap, ikan pupu buatannya dapat dipasarkan ke luar Banggai. Seperti yang selama ini dilakukan di Ambon dan Ternate, ikan pupu atau ikan fufu dikemas rapid an menjadi salah satu oleh-oleh untuk dibawa pulang oleh tamu yang datang berkunjung ke kota itu. (subarkah)