SETIAP 12 Syawal atau dua pekan setelah Hari Raya Idul Fitri, warga Alkhairaat seantero penjuru datang ke Palu, Sulawesi Tengah. Mereka menghadiri Haul Al Habib Idrus bin Salim Aljufri.

Haul adalah peringatan atas wafatnya Guru Tua. Sudah 54 tahun Sang Guru wafat dengan meninggalkan karya besar bernama Alkhairaat, dan karya yang hidup. Mereka adalah abnaulkhairaat (anak-anak Alkhairaat).

Mereka datang dengan biaya sendiri. Mereka hadir tanpa paksaan. Abnaulkhairaat datang dengan rela, meski tanpa tempat duduk, mereka ikhlas berdiri walau berdesakan. Tak pandang pejabat atau masyarakat biasa, semuanya sama menjadi jamaah haul.

Jamaah haul adalah tamu Habib Idrus bin Salim Aljufri. Habib Idrus bagi masyarakat, selalu menyebutnya dengan sebutan Guru Tua. Alhabib adalah magnet bagi murid-muridnya, abnaulkhairaat. Maka walau tanpa undangan, mereka berduyun-duyun datang ke Alkhairaat di Jalan SIS Aljufri, Palu

Kehadiran abnaulkhairaat ke haul, bukan karena mengkultuskan pribadi Guru Tua. Mereka hadir dengan penuh keikhlasan sebagai wujud dari penghormatan terhadap Sang Guru Besar Alkhairaat, Al Habib Idrus bin Salim Aljufri.

“Kita hadir di haul, bukan karena kita mengkultuskan Guru Tua. Tapi karena penghormatan terhadap jasa-jasa beliau,” kata Habib Salim Segaf Aljufri, seorang cucu Guru Tua.

Kehadiran abnaulkhairaat juga agar dapat bersilaturahmi dengan sesama. Ketua Ikatan Keluarga Alumni Alkhairaat Provinsi Maluku Utara, Muhammad Abusama, mengatakan ia datang ke Haul Guru Tua, karena kecintaannya terhadap Pendiri Alkhairaat, sekalian bersilaturahmi dengan sesama teman dan saudaranya di Palu.

“Alhamdulillah, saya juga bisa bersilaturahmi dengan teman semasa kuliah dan saudara yang sudah menetap di Palu,” ujarnya.

Selain itu, Muhammad Abusama mengatakan, wujud kecintaan terhadap Alkhairaat dan Guru Tua, juga tak hanya dengan menghadiri peringatan wafat Sang Guru. Tetapi yang penting juga ada memelihara karyanya berupa madrasah-madrasah.

“Wujud kecintaan kita terhadap Guru Tua, tak hanya sekadar hadir di haul, tetapi juga harus ditunjukkan dengan menghidupkan dan menggerakkan madrasah-madrasah di pelosok yang mati suri atau memang sudah tutup,” kata Wakil Ketua DPRD Maluku Utara itu.

LAIN DI BIBIR LAIN DI HATI

Ketua Umum Pengurus Besar Alkhairaat, Habib Ali Muhammad Aljufri, pada pengantar doa di akhir acara Haul Guru Tua yang ke 54, pada 14 Mei 2022 itu, juga menegaskan soal menghidupkan madrasah di pelosok-pelosok.

“Mau menghidupkan madrasah-madrasah yang sudah mati?,” Tanya Habib Ali yang diulangnya sampai tiga kali.

Sontak, ribuan jamaah yang hadir di Haul Guru Tua seperti paduan suara, secara serentak menjawab: Bersedia.

Setelah mendapat jawaban bersedia, Ketua Umum PB Alkhairaat yang juga cucu Guru Tua itu kemudian menengadahkan tangan, mendoakan seluruh abnaulkhairaat yang hadir di haul tersebut.

Memang, menjadi fakta beberapa Madrasah Alkhairaat di beberapa daerah ada yang tak aktif. Ada juga yang hidup segan mati tak mau. Semua itu butuh perhatian. Tidak hanya oleh PB Alkhairaat, tetapi juga oleh Komda Alkhairaat (pengurus di tingkat kabupaten/kota) dan Komwil Alkhairaat (pengurus di tingkat provinsi) serta abnaulkhairaat.

PENGHORMATAN – Habib Idrus bin Abdillah Aljufri (jubah hijau) saat mencium tangan pamannya yang juga Ketua Umum PB Alkhairaat saat pembacaan doa di Makam Guru Tua pada Haul ke 54 Guru Tua. Cium tangan bagi abnaulkhairaat adalah wujud penghormatan terhadap yang lebih tua | Foto: Ochan/Kaidah

Dalam beberapa kunjungan ke daerah-daerah, Ketua Umum PB Alkhairaat terus mendorong reaktivasi Madrasah Alkhairaat, warisan Guru Tua. Perjalanan itu sekaligus sebagai napak tilas perjalan Guru Tua di pelosok-pelosok negeri untuk mendirikan Alkhairaat.

Dalam beberapa serangkaian kunjungan, kaidah.id turut serta. Terlihat beberapa Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA), bahkan pondok pesantren ada yang sudah melakukan peletakan batu pertama sekaligus yang terakhir alias tak dilanjutkan pembangunannya.

Ada pula, yang ada bangunannya tapi tak beroperasi, karena ketiadaan guru. Tapi yang lebih miris, ada sekolah milik Yayasan Alkhairaat, tapi ada pihak yang berniat mau menjadikannya sebagai milik yayasan lain.

Dan ada pula madrasah milik Alkhairaat, tapi dikelola oleh Yayasan Alkhairaat tapi dengan legalitas atau akte notaris ang berbeda, tidak menggunakan yayasan yang ada di Palu.

Ketua Umum PB Alkhairaat sudah mulai menertibkan semua itu. Tapi Habib Ali Muhammad Aljufri tak bisa sendiri. Abnaulkhairaat, Komwil dan Komda harus punya semangat yang sama dengan PB Alkhairaat di bawah kepemimpinan Habib Ali, bergerak serentak, seiya sekata, dalam menata semua itu.

Para Komisaris Wilayah dan Komisaris Daerah, seyogianya tidak boleh hanya terlihat ketika ada kunjungan Ketua Umum PB Alkhairaat ke wilayah dan daerah. Tetapi hilang lagi setelah kunjungan itu berakhir. Maka, harus benar-benar mereka yang punya komitmen kuat untuk memajukan madrasah.

Bukan hanya itu, dalam amatan media ini, beberapa madrasah yang mati dan mati suri, karena tidak diurus oleh Komwil atau Komda. Nanti ada tokoh yang tidak masuk dalam struktur itu mengurusinya sampai madrasah itu aktif, barulah pengurusnya mendekat.

Contohnya, di salah satu daerah, ada Ketua Komda yang bekerja di provinsi lain dan berdomisili di provinsi lain pula. Pertanyaannya, dapatkah ia membagi waktu untuk mengurus madrasah? Sulit.

Akibatnya, meminjam istilah Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara, Muhammad Abusama, orang lain yang bertahlil, tapi orang lain pula yang makan kuenya. Dalam istilah yang masyhur, orang lain makan nangka, orang lain pula yang mendapat getahnya.

Pertanyaan Ketua Umum PB Alkhairaat kepada abnaulkhairaat, siapkah menghidupkan madrasah yang sudah mati, serupa hantaman palu godam. Sakitnya terasa sampai ke jantung. Itu bagi abnaulkhairaat yang punya kesadaran. Tapi bagi yang tidak punya kesadaran itu, hanya akan menjawab siap, tapi setelah itu hilang tak berbekas.

Tetapi kita tetap berprasangka baik, jawaban iya abnaulkhairaat atas pertanyaan Habib Ali, tak hanya lain di bibir lain pula di hati seperti syair lagu yang disenandungkan Bob Tutupoli:

Memang lidah tak bertulang
Tak terbekas kata-kata
Tinggi gunung seribu janji
Lain di bibir, lain di hati

Aku pergi takkan lama
Hanya satu hari saja
Seribu tahun tak lama
Hanya sekejap saja
Kita ‘kan berjumpa pula

Memang lidah tak bertulang
Tak terbekas kata-kata
Tinggi gunung seribu janji
Lain di bibir, lain di hati. (*)

Wallahu a’lam