Oleh : Dr. Rahmad M. Arsyad, M.Ikom/ Ketua Kadin Donggala, Sulteng
‘Pak Ketua, kami ini UMKM. Kalau pengusaha besar, pasti kami tidak akan mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tapi pinjaman modal usaha. Bila perlu, tidak usah pake kredit. Jika pula, kami punya jaminan besar, untuk apa kami mengajukan KUR yang bikin repot seperti ini’ (Ny. Farida, salah satu pelaku UMKM Dampelas, Donggala Sulawesi Tengah)
Bapak Menko Airlangga Hartarto yang kami hormati, petikan keluhan Ny. Farida itu, merupakan satu di antara ratusan, bahkan ribuan realitas saudara-saudara saya, rakyat Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, yang selama ini menjadi pelaku usaha kecil, UKM, petani dan nelayan, tentang betapa sulitnya untuk mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Keluhan seperti itu, bahkan terkadang sampai cacian, adalah menu sehari-hari yang sering saya terima sebagai Ketua Kadin, jika berhubungan dengan urusan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pasalnya, lewat program yang kami jalankan, yakni Kadin Donggala Smart yang merupakan usaha untuk membangun percepatan ekosistem ekonomi digital di Kabupaten Donggala, tentu tidak akan bisa berjalan baik tanpa dukungan aspek permodalan seperti KUR.
Sebagai Ketua Kadin yang salah satu tugasnya sebagaimana amanat Keppres No. 16 tahun 2006, yakni; fasilitasi dan advokasi pelaku pengusaha dan berperan serta secara efektif dalam pembangunan ekonomi daerah, kami sudah berupaya menjalankan amanah tersebut secara optimal.
Pak Menko Airlangga, sekadar informasi lewat program Kadin Smart yang kami jalankan, kami telah melatih dan memfasilitasi lebih dari dua ribu UMKM se – Kabupaten Donggala, agar bisa ‘naik kelas’. Melalui edukasi akan strategi marketing digital, manajemen pemasaran dan keuangan, sampai pada sektor hilir membantu registrasi UMKM, agar memiliki toko dan bisa langsung berjualan di berbagai pasar digital (Marketplace), yang muaranya mendukung Gerakan Bangga Buatan Indonesia dan Pemulihan Ekonomi Nasional, layaknya cita-cita Bapak Presiden dan harapan Pak Menko Perekonomian.
Kami juga sudah membangun jembatan bagi gerakan Petani Smart, lewat kerjasama multipihak, dengan memberikan pelatihan Good Agriculture Practice (GAP) berbasis aplikasi digital, agar produktivitas pertanian kita, terutama komoditi jagung bisa naik, bahkan kami membuat demplot Jagung Smart, yang alhamdulillah produktivitasnya melampaui target nasional di atas 5 ton, layaknya cita-cita Bapak Presiden dan Menteri Pertanian.
Namun, tentu Pak Menko Perekonomian dan Para Menteri mengetahui, rantai ekosistem ekonomi yang kini berjalan, bukan hanya pada aspek pengetahuan digital, kemampuan marketing, kualitas dan produktivitas produk dan pemanfaatan inklusivitas pasar. Namun juga menekankan pada kesiapan permodalan, yang sebenarnya tersedia lewat program pemerintah nasional seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bapak kini jalankan.
Benarkah KUR untuk Rakyat?
Bapak Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang kami hormati, kemarin saya membaca kabar gembira, bahwa bapak Menko menyampaikan program pemerintah terkait, penambahan nilai alokasi penyaluran KUR dari Rp 373,17 triliun pada tahun 2022, menjadi Rp460 triliun pada 2023.
Tentu sebagai Ketua Kadin, kami menyambut baik hal ini, namun sebagai catatan, kami punya beberapa fakta permasalahan lapangan yang ingin kami sampaikan menyangkut realitas kesulitan bagi Program KUR, yang selama ini kami dan para pelaku usaha alami, layaknya petikan keluhan Ny. Farida di atas.
Pertama, perbedaan sudut pandang akan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dalam pandangan kami, ‘KUR merupakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah untuk bisnis dan usaha masyarakat yang sebenarnya feasible namun belum bankable’.
Tapi faktanya di lapangan, pihak perbankan yang menjadi penyalur KUR, senantiasa memberikan berbagi syarat tambahan bagi pelaku usaha yang mengajukan KUR, mulai dari kewajiban adanya jaminan berupa sertifikat/ SKPT, lokasi usaha, lama usaha, Feasibility Study, bahkan yang aneh batas wilayah jangkauan unit bank penyalur.
Tentu, hal ini menyulitkan masyarakat pelaku usaha. Bahkan kasus yang kami alami, banyak pelaku usaha seperti petani yang mengajukan KUR, ditolak oleh pihak perbankan. Padahal kolateral berupa sertifikat tanah yang diajukan sebagai jaminan , sudah lebih besar dibandingkan kredit yang diminta dengan kisaran hanya dua puluh juta rupiah.
Kami cukup memahami, logika bank tentang mitigasi manajemen risiko. Namun, perbankan mestinya juga paham, bahwa program KUR memang diperuntukan bagi rakyat pelaku usaha kecil dan menengah, mereka yang usahanya baru mulai dan kesulitan akan permodalan, bukan pada pengusaha dan perusahaan papan atas.
Karena itu, melalui surat ini, kami mohon dengan sangat, bapak Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto benar-benar menekankan hal ini pada pihak perbankan penyalur. Agar akses KUR bisa benar-benar dinikmati oleh Rakyat kebanyakan, mereka yang sedang berjuang mengembangkan diri dan usahanya di tengah berbagai kesulitan yang melanda rakyat.
Kedua, jika boleh menyarankan sebaiknya bapak Menko Perekonomian menegaskan kembali akan nilai subsidi bunga KUR 3 % kepada perbankan penyalur, dan diteruskan sampai pada level terkecil mereka. Karena faktanya, di lapangan masih banyak pelaku usaha kecil yang mendapatkan KUR, namun bunga yang dibebankan sampai pada angka 6%, bahkan terkadang jika dikalkulasi secara seksama bisa lebih.
Agar niat baik Pemerintah dan khususnya Pak Menko Perekonomian tentang tujuan penyaluran KUR benar-benar tercapai, yakni untuk memberdayakan ekonomi rakyat, memajukan perekonomian nasional dan menghapus kemiskinan ekstrem di tengah rakyat bisa terwujud.
Karena bukankah tujuan utama dan pertama kehadiran negara ini, layaknya mukadimah undang-undang, yakni memajukan kesejahteraan umum ?
Semoga !
Tinggalkan Balasan