DALAM sebulan terakhir, Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura selalu mengampanyekan Sulawesi Tengah sebagai Negeri Seribu Megalith. Kampanye itu mengharuskan saya membuka kembali file-file lama, yang pernah tayang di sejumlah media, baik di The Jakarta Post maupun di beberapa blog.
Dalam catatan itu, saya menemukan data, Sulawesi Tengah punya sedikitnya 1.451 buah arca dari situs megalith sejak zaman batu. Lokasinya tersebar di hampir seluruh wilayah ini. Tapi, yang paling banyak berada di Lembah Napu, Lembah Bada dan Lembah Besoa di Kabupaten Poso, dan di Desa Oloboju dan Kulawi di Kabupaten Sigi. Itulah sebabmya, dari hasil penelitian pihak Museum Sulteng tahun 2016, Sulawesi Tengah ini adalah wilayah dengan situs megalitikum terluas di Indonesia.
Di dunia, arca megalith yang berupa arca, menhir atau dolmen ini, hanya ada di Napu, Besoa, Bada Kabupaten Poso, Oloboju dan Kulawi di Kabupaten Sigi, serta di Marquies Island, Amerika Latin.
Ada 432 objek situs megalith di Sulawesi Tengah, tersebar di Kecamatan Lore Utara sebanyak 349 situs, di Lore Selatan sebanyak 55 situs dan di Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi sebanyak 27 situs.
Tapi pihak Museum Sulawesi Tengah menyebutkan, situs megalith itu tidak hanya ada di tiga wilayah tersebut, tapi juga tersebar di Doda, Kecamatan Lore Tengah, di Desa Tulo, Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi, Desa Watunonju, Kecamatan Sigi Biromaru, Kecamatan Pipikiro, dan Desa Bangga di Kabupaten Sigi.
Patung-patung megalith ini pun diberi nama oleh pihak museum. Satu di antaranya patung megalith yang berdiri sendiri, dinamai Tadulako yang berarti pemimpin. Tingginya sekitar 170 centimeter. Patung itu berukiran orang.
“Mungkin saja pembuatnya hendak menggambarkan bahwa begitulah pemimpin di masa zaman pra sejarah itu,” kata Iksam Djorimi, seorang arkeolog di Palu.
Untuk menuju patung Tadulako itu, kita harus berjalan kaki dari jalan utama sekitar dua kilometer dengan melewati persawahan ketika itu. Sekitar 30 meter dari patung Tadulako ditemukan lagi beberapa situs megalith lain yang diberi nama Kalamba atau perahu (batu yang tengahnya bolong). Tidak hanya di situ, sekitar lima kilometer dari kalamba, masih banyak ditemukan situs megalith serupa.
Situs ini disebut juga dengan menhir, yakni bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok, serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain, yaitu seperti punden berundak-undak.
Menurut dia, saat ini, terdapat 60 ribu artefak asal Sulawesi termasuk Sulawesi Tengah yang disimpan di Museum Leiden Belanda. Sedangkan di Museum Sulawesi Tengah sendiri hanya menyimpan sekitar 10 ribu artefak.
BERASAL DARI CHINA
Ketika itu, Alimuddin Pa’ada (saat ini anggota DPRD Sulteng), pendiri Yayasan Katopasa yang pernah bersama-sama The Nature Concervancy (TNC) melakukan penelitian tentang patung megalith itu, mengatakan, nenek moyang orang Indonesia berasal dari daratan Cina Selatan, yang bermigrasi dengan perahu ke arah selatan ribuan tahun silam. Gelombang migrasi ini masuk pula ke Sulawesi dan mereka menetap di pulau ini hingga ke Sulawesi Tengah.
Para pengembara ini masuk dalam rumpun ras austronesia yang menyebar dari Madagaskar sampai Pasifik. Pada saat itu, gelombang kedua orang austronesia datang ke Sulawesi dengan membawa kebudayaan zaman besi. Dengan alat-alat dari besi ini, mereka bisa membuat berbagai model peninggalan dari batu atau dikenal dengan Megalith.

Tinggalkan Balasan