AKSI TERORISME di Indonesia belum selesai. Potensinya masih terus ada sampai sekarang. Negara, telah membentuk sebuah lembaga yang salah satu tugasnya adalah mencegah bangkitnya terorisme, yang disebut dengan program deradikalisasi.

Tetapi suka atau tidak, kelompok-kelompok garis keras yang membungkus diri dengan berbagai nama masih terus ada. Di Poso, dikenal dengan kelompok yang menamakan diri mereka sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Ada juga yang menamakan diri Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jemaah Islamiyah (JI). Rata-rata, kelompok ini berideologi Salafi – Jihadi dan berafiliasi dengan ISIS. Begitu pula dengan kelompok MIT yang sekarang sudah ditumpas habis. Sedangkan Jamaah Islamiyah yang berafilisasi kepada Taliban dan Al-Qaeda.

Dalam forum workshop Peran Pers dalam Pencegahan Paham Radikalisme dan Terorisme untuk Mewujudkan Indonesia Harmoni, yang dilaksanakan oleh Dewan Pers bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), 23 Desember 2023 di Palu, mengungkap banyak hal soal itu sehingga masyarakat perlu mewaspadai itu.

Yang miris, meski bukan hal baru, tetapi kelompok-kelompok ini juga menyasar perempuan untuk bergabung dan melakukan aksi-aksi terorisme dan ekstremisme. Ninik Rahayu, anggota Dewan Pers mengatakan, perempuan itu sangat rentan disasar, apalagi karena mengatasnamakan hubungan suami istri.

“Tetapi perempuan, dalam konteks ekstremisme terorisme, karena perempuan diposisikan tidak setara di ruang publik, di situ perempuan menjadi rentan terpapar. Dan karena memang perempuan mudah diperdaya, apalagi dengan modus suami istri,” katanya.

“Tapi perempuan juga sangat mudah menjadi agen perdamaian,” tambahnya.

Dia mengatakan, kelompok lain yang juga berbahaya, adalah kelompok puritan. Meski tidak menjelaskan secara detail, tetapi beberapa literatur menjelaskan,  puritan itu adalah kelompok keagamaan yang lahir di Inggris pada abad 16 dan 17, yang memperjuangan kemurnian dan tata cara peribadatan, begitu juga kesalehan perseorangan dan kelompok.

Sebagai contoh, sekelompok orang yang mengaku lebih baik, lebih saleh dalam menjalankan ajaran agamanya dan orang lain salah, itu adalah ciri kelompok puritan. Di Indonesia banyak para puritan itu.

Para perempuan, bukan tidak mungkin akan mudah terpapar dalam kelompok tersebut. Data BNPT menyebutkan, sejak 2001 sampai 2020, tercatat ada 39 perempuan yang terlibat dalam aksi-aksi terorisme di Tanah Air.

Antara lain kasus terorisme yang melibatkan perempuan adalah kasus bom panci di Bekasi (2016). Saat itu, polisi mengamankan seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi. Kemudian kasus bom Bali II (2005) yang melibatkan istri Noordin M. Top. Dia menyembunyikan suaminya, tersangka dalam kasus tersebut. Kasus penyerangan Wiranto (2019), yang dilakukan suami istri. Kasus bom bunuh diri di Surabaya (2018) yang melibatkan seorang ibu dengan membawa anaknya yang masih kecil, selanjutnya kasus bom bunuh diri di Makassar (2021).

NARASI MASKULIN: TEORI NOOR HUDA ISMAIL

Menurut Noor Huda Ismail, deradikalisasi perempuan yang sudah pernah terpapar terorisme, akan jauh lebih sulit karena melibatkan emosi. Itu juga, karena pola rekrutmen terhadap perempuan dengan menggunakan narasi maskulin.  

“Narasi maskulinnya adalah melindungi, berperang membela yang lemah. Selalu menggunakan ‘perempuan-perempuan kita’ dan ‘anak-anak kita’. Konstruksinya spesifik. Pembelaan. Jadi, apa yang dimainkan adalah kontruksi pembelaan yang dibungkus dalam narasi maskulinitas tersebut,” jelas Noor Huda Ismail, seperti yang dikutip dari bincangsyariah.com.

Biasanya, radikalisasi perempuan terjadi karena alasan pribadi. Jomblo, misalnya. Jomblo adalah masalah khilafah. Khilafah akan mencoba mencari solusinya. Jomblo adalah masalah jamaah, sehingga akan dicarikan jodohnya. Maskulin yang dimaksud bukan maskulin dalam bentuk lelaki macho, tapi konstruksi bahasa maskulin.

Konstruksi bahasa tersebut spesifik hanya dipahami di kelompok ini dan diajarkan secara terus-menerus. Tidak diajarkan dalam kelas, tapi diajarkan dalam bentuk sosialisasi. Misalnya dalam bentuk gambar. Tidak ada sebutan “maskulin”. Yang ada adalah interpretasi maskulin

Narasi maskulintas yang dimaksud adalah konstruksi gender menjadi lelaki secara spesifik yang ada dalam kelompok tersebut. Ceruk itulah yang digarap serius dalam kelompok jihad.

BAHAYANYA IDEOLOGI SALAFI – JIHADI

Menurut Setyo Pranowo, Kasubdit Pengamanan Lingkungan Direktorat Perlindungan BNPT, Kelompok-kelompok garis keras itu berideologi Salafi Jihadi. Mereka ini masih banyak berkeliaran di Indonesia, termasuk di Palu, Poso dan di beberapa wilayah di Sulawesi Tengah.

Oleh penulis, para pendakwahnya banyak berkamuflase melalui beberapa organisasi yang mengatasnamakan agama berupa majelis pengajian, majelis Tahfidz, bahkan merangsek masuk ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Tetapi sesungguhnya mereka bukan penganut agama yang baik, karena tak satupun agama yang mengajarkan kekerasan.

Di Poso, MIT memiliki ideologi Salafi-Jihadi dan berafiliasi kepada ISIS. Serupa dengan MIT, JAD dan JAT juga berafiliasi kepada ISIS. Sedangkan, JI yang berideologi Fundamentalisme Islam berafilaisi kepada Taliban dan Al-Qaeda.

Kelompok yang berideologi Salafi-Jihadi ini berdakwah dengan doktrin tauhid. Menurut Shiraz Maher dalam buku Salafi-Jihadism The History of An Idea (2016), tauhid (keyakinan terhadap satu Tuhan) merupakan pilar ajaran Islam. Seperti kelompok lain dalam Islam, Salafi-Jihadi juga menjadikan tauhid sebagai salah satu doktrin pokoknya.

Dalam menjelaskan tauhid, Salafi-Jihadi mengikuti paham Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kitab Tauhid menjadi rujukan utama. Dalam konteks pemikiran Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, tauhid diperhadapkan dengan konsep syirk. Seluruh bangunan pemikiran teologi Muhammad bin Abdul Wahhab berupaya menerjemahkan agenda perang terhadap berbagai bentuk syirk.

Ajaran Salafi-Jihadi yang paling berbahaya adalah jihad dan takfiri. Menurut Shiraz Maher, kelompok ini harus membentuk komunitas pendukung yang solid. Gunanya, untuk memudahkan mobilisasi kekuatan menuju target-target yang telah ditentukan. Target-target itu adalah pihak-pihak yang dianggap musuh. Seperti para penguasa yang memakai hukum positif dan terikat dengan hukum internasional. Selain Negara-negara Barat yang kafir, yang dianggap masih menguasai dan mendominasi di Negara-negara Muslim.

Berdasarkan prinsip rejeksi (penolakan), Salafi-Jihadi memilih jalan kekerasan yang mereka sebut jihad. Jihad dalam arti berperang terhadap seluruh pemerintahan Negara-negara Muslim yang dianggap sebagai musuh dekat (near enemy) dan Negara-negara Barat yang disebut sebagai musuh jauh (far enemy).

Bisa dikatakan, seluruh narasi ideologis dan sumber daya yang dimiliki kelompok Salafi-Jihadi diproyeksikan untuk tujuan berjihad melawan musuh-musuhnya. Karena alasan inilah, kelompok ini disebut Salafi-Jihadi. Yang membedakannya dengan kelompok salafi lainnya.

Sedangkan Takfir, kelompok ini selalu menegaskan, siapapun yang berbeda pendapat dengan mereka, harus diperangi.  Inilah yang banyak di Indonesia saat ini. Komunitas ini yang selalu membid’ahkan banyak urusan agama. Dan ketika ada orang lain berbeda dengan mereka, semuanya dianggap musuh dan harus diperangi. Ini bahaya.

Dan ternyata, kelompok ini mengambil sumber utama dalam ajaran mereka adalah  fatwa Ibnu Taimiyah tentang kekafiran orang-orang Mongol yang menyerang dunia Islam. Fatwa ini dikutip pula oleh Ibnu Katsir. Fatwa ini menegaskan bahwa orang-orang Mongol adalah orang-orang kafir yang boleh diperangi, sekalipun mereka telah bersyahadat dan melaksanakan ibadah Islam.

Dan fatwa tokoh ulama Wahabi yang mengkafirkan Kesultanan Turki Usmani. Selama perang Turki-Saudi muncul sejumlah fatwa yang menyebut bahwa Kesultanan Turki Usmani adalah negara kafir yang boleh diberlakukan jihad terhadap mereka.

Salah satu alasannya adalah karena Turki Usmani adalah ‘penyembah kuburan’, dimana mereka membangun makam para wali dan nabi serta mengizinkan ziarah dan pemujaan terhadap makam-makam tersebut. Mereka menyerang doktrin wasilah-tawassul yang diterima oleh seluruh dunia Islam, dan menjadikannya alasan untuk mengkafirkan umat Islam lainnya, khususnya kelompok sufi. Wallahu a’lam bishawab. (*)