REDAKSI KAIDAH.ID kali ini menulis artikel Panjang tentang kilas balik kerusuhan Poso, lahirnya teroris Poso, hingga peran Inspektur Jenderal Polisi Rudy Sufahriadi dalam penumpasan kelompok teroris yang menamakan diri sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Agar lebih terkini, Ruslan T. Sangadji (Ochan), penulis artikel ini akan menyuguhkannya berseri ini, akan memulainya dengan profil singkat Irjen Pol Rudy Sufahriadi. Terlebih lagi, artikel ini tidak bermaksud menyinggung sejumlah pihak yang pernah terlibat konflik Poso, tetapi hanya untuk meningatkan kembali sejarah kelam yang pernah terjadi di Poso. Maka di akhir tulisan ini, akan ditulis kembali sosok eks teroris yang menjadi penganjur damai di Poso.
Ini adalah seri kedua dari artikel panjang itu
Mari kita simak bersama.
DI SUATU MALAM, 24 Desember 1998, yang kebetulan bertepatan bulan Ramadhan, seorang pemuda Poso bernama Roy Runtu Bisalemba, dilaporkan menikam pemuda muslim bernama Ahmad Ridwan. Kabar peristiwa itu beredar cepat di masyarakat.
Di kalangan Ksristiani, menyeruak kabar Ahmad Ridwan setelah ditikam, melarikan diri ke masjid. Sedangkan kabar di kalangan muslim, penikaman itu adalah serangan terhadap pemuda muslim yang sedang tidur menunggu sahur di masjid.
Informasi liar itu berhembus kencang di tengah masyarakat Poso.
Tak mau ambil risiko, tokoh kedua agama bertemu menyelesaikan masalah tersebut. Semua sepakat, sumber masalah dari peristiwa itu, karena minuman keras.
Polisi di Poso tak mau kejadian itu berlarut. Karena kesepakatan masalahnya adalah minuman keras, polisi kemudian menyita minuman keras yang dijual bebas di sejumlah warung dan toko.
Pada saat yang hampir bersamaan, satu toko di dekat pasar dan terminal lama yang dijaga pemuda Kristiani bertemu kelompok pemuda muslim yang memang bertujuan menyegel toko tersebut, karena menjual minuman keras.
Pertemuan yang tak disangka itu, ternyata melahirkan bentrok kedua kelompok pemuda tersebut, yang mengakibatkan adanya korban. Informasi beredar luas, telah terjadi “perang” antara orang Kristen dan orang Islam.
Bak bola liar, informasi itu beredar luas hingga keluar Poso. Tak dapat dihindari, pada 27 Desember 1998, sekelompok orang bersenjata dari Tentena masuk ke Kota Poso. Mereka menggunakan mobil truk. Kelompok itu dipimpin seorang anggota DPRD Poso bernama Herman Parimo. Tokoh ini juga adalah anggota Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST).
Pada saat sama, kelompok muslim dari Palu, Parigi dan Ampana masuk ke Poso. Mereka juga menggunakan mobil truk. Kabarnya, mereka hendak membantu muslim Poso.
Pecahlah bentrokan di Poso Kota. Polisi tak sanggup mengatasinya, meski akhirnya dapat diatasi.
Ternyata masalah semakin meluas. Urusan politik telah ikut di dalamnya, karena bertepat dengan pemilihan bupati, sekaligus adanya isu korupsi yang melibatkan mantan Bupati Poso, Agfar Patanga, yang disidang pada April 2000 menjalani sidang dan didakwa telah menyalahgunakan dana Program Kredit Pedesaaan.
Isu berkembang, dana tersebut digunakan oleh Arif Patanga untuk membayar sekelompok orang untuk menyerang kantor Pengadilan Poso.
Ketika itu, seorang tokoh masyarakat Poso yang juga anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Haelani Umar membuat pernyataan yang dirilis media, bahwa situasi tidak akan bisa selesai, akan banyak kekerasan yang terjadi, jika anggota DPRD tidak memilih Damsik Ladjalani sebagai Bupati Poso. Pernyataan itu dirilis pada April 2000.
Sehari setelah pernyataan itu, entah direkayasa atau benar-benar terjadi, seorang pemuda muslim melapor telah diserang sekelompok pemuda Kristen. Dengan berlumuran darah, pemuda itu melapor kepada teman-temannya.
Meskipun lengannya terluka, tetapi Laporan itu adalah provokasi. Benar saja, provokasi itu sangat mumpuni. Kelompok Muslim yang tidak terima, akhirnya balas menyerang. “Perang” tak dapat dielakan. Rumah-rumah warga Kristen dan gereja dibakar massa yang marah.
Brimob dari Palu dikirim ke Poso untuk menghalau massa. Pada 17 April 2000, Mohammad Yusni dan Yanto tewas tertembak bedil Brimob. Delapan pemuda muslim lainnya juga terluka dalam penanganan huru hara yang sudah melebar menjadi kerusuhan itu oleh Brimob dari Palu.
Situasi mulai terkendali. Tak ada lagi kerusuhan. Pasukan Brimob dipulangkan ke Palu, yang dimanfaatkan oleh warga dengan membakar rumah dan baku serang antardua kelompok agama berbeda.
TNI turun tangan. Pangdam VII Wirabuana yang dipimpinan Mayor Jenderal TNI Slamet Kirbiantoro mengirim 600 tentara ke Poso. Kehadiran tentara itu bisa meredakan situasi.
KERUSUHAN MASSAL
Tetapi, pada Mei 2000 terjadi “perang” besar atau kerusuhan massal dan yang paling parah dari sebelumnya. Pada periode ini, serangan lebih didominasi oleh serangan balasan yang dilakukanb kelompok Kristen terhadap Muslim Poso.
Saat itu, banyak rumah Muslim dibakar, penculikan dan pembunuhan terhadap kelompok Muslim tak terelakan. Air Sungai Poso berubah warna menjadi darah. Pesantren Wali Songo dibakar, santri dan ustadz dibunuh.
Kelompok Kristen menjadikan Desa Kelei sebagai basis pertahanan. Bahkan, rumor berkembang di Poso ketika itu, ada kamp pelatihan di Desa Kelei. Kelompok Kristen ini menamakan diri sebagai Kelelawar Merah dan Kelelawar Hitam. Ciri khas mereka mengenakan penutup wajah a la nina.
Kelompok ini dipimpin Fabianus Tibo, dibantu Dominggu da Silva dan Marinus Riwu. Ketiganya adalah transmigran asal Flores, Nusa Tenggara Timur. Ketiganya juga telah menjalani vonis hukuman mati.
Pada 23 Mei 2000, sekelompok pasukan kelelawar hitam membunuh seorang polisi bernama Sersan Mayor Kamaruddin Ali dan dua warga sipil Muslim, Abdul Syukur dan Baba.
Setelah peristiwa itu, Kelompok kelelawar hitam ini dikabarkan bersembunyi di sebuah kereja katolik di Kelurahan Moengko. Saat itu, polisi bernegosiasi agar mereka menyerahkan diri. Saat negosiasi berlangsung, ratuusan Muslim telah menunggu di depan gereja tersebut.
Bukannya menyerahkan diri, kelompok Kelelawar Hitam ini malah melarikan diri ke perbukitan di belakang gereja. Pelarian itu menylut api amarah kelompok Muslim Poso. Akhirnya, mereka membakar Gereja Katolik itu.
Setelah itu, serangan demi serangan terhadap Muslim semakin meluas. Anak-anak dan perempuan menjadi korban kerusuhan. Ada yang diculik, diperkosa dan dibunuh.
Peristiwa itu terjadi pada 28 Mei 2000. Sekitar 70 orang lari dan mengamankan diri di Pesantren Wali Songo. Ternyata, di tempat itu mereka dilecehkan dan dibunuh. Orang-orang yang melarikan diri dari Pesantren Wali Songo, dikejar dan dibunuh.
Saya bersama pimpinan Dompet Dhuafa Republika bernama Ery Sudewo, menjadi saksi evakuasi sekitar 35 orang yang ditanam di satu sumur dekat pesantren itu. Data resmi TNI waktu itu, sekitar 191 orang yang ditemukan tewas.
Kerusuhan Poso yang dimulai pada 25 Desember 1998 hingga 20 Desember 2001 menjadi kerusuhan bernuansa SARA. pemerintah mengklaim, sebanyak 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah dibakar, dan 510 fasilitas umum terbakar.
Kerusuhan ini kemudian berakhir pada 20 Desember 2001 dengan ditekennya Deklarasi Malino. Deklarasi damai yang diprakarsai Jusuf Kalla ketika menjabat sebagai Menko Kesra. (*)
Tinggalkan Balasan