PALU, KAIDAH.ID – Polisi telah mengidentifikasi dua karyawan PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) Morowali Utara (Morut) yang tewas dalan kerusuhan di kawasan itu, Sabtu 14 Januari 2023. Keduanya adalah XE (30 tahun) warga negara China dan MS (19 tahun warga asal Pare-Pare, Sulawesi Selatan.

Kepala Bidang Humas Polda Sulteng, Kombes Polisi Didik Supranoto mengatakan, selain mengidentifikasi dua korban tewas tersebut, polisi juga mengamankan 71 orang. Dari jumlah itu, 33 orang telah dimintai keterangan dan 17 orang dikenakan status tersangka, sedangkan 16 orang di antaranya diminta wajib lapor.

Polisi mengimbau warga untuk tidak terpancing dengan isu-isu hoax yang beredar di media sosial, yang menyebut ada pekerja perempuan yang tewas, ada yang dikuburkan di Poso dan banyak informasi sesat lainnya di media sosial.

Menurut Kabid Humas Polda Sulteng, situasi di lokasi kejadian saat ini relatif aman dan terkendali. Personil TNI Polri melakukan pengamanan di lokasi-lokasi strategis PT. GNI, seperti jalan keluar masuk perusahaan, smelter, jalan houling dan tempat jeti atau dermaga.

AKUMULASI

Kerusuhan berujung maut di kawasan perusahaan nikel itu, tidak bisa dilihat saat peristiwa itu berlangsung saja. Tetapi akar masalahnya harus didalami. Ada banyak masalah di sana.

Mulai dari ketidakadilan perlakuan, upah pekerja yang sangat timpang, penempatan mess pekerja asing dan lokal yang cenderung diskriminatif, pembatasan pengusaha lokal untuk ikut bekerja di dalam GNI, ada bisnis di dalam bisnis, dan banyak masalah lain.

Soal upah pekerja di perusahaan-perusahaan tambang milik China di Indonesia, suka atau tidak sangat besar ketimpangannya. Semua sudah mafhum, upah pekerja asal China sangat besar dibanding upah pekerja lokal, meskipun itu untuk jenis pekerjaan yang sama. Itu belum termasuk mess karyawan dan fasilitas lainnya yang jauh berbeda. Suka atau tidak, tetapi begitulah kenyataannya.

Tetapi pemerintah, biasanya atas nama mengamankan investasi, selalu menyebut setiap peristiwa seperti itu karena ada provokator. Sangat jarang sekali pemerintah mau menjelaskan peristiwa itu pada akar masalah. Entahlah, apakah karena pemerintah takut pada pemilik modal, takut akan berhentinya “setoran” atau terputusnya akses ke dalam perusahaan.

Ujung-ujungnya, pemerintah pasti memberi keterangan pers, meminta khalayak untuk tidak membesar-besarkan masalah. Pemerintah cenderung lupa, masalah itu bukan dibesar-besarkan, tetapi sebetulnya masalah itu tumpah dan membesar, karena gelas problem tak sanggup lagi menampung masalah.

Sedangkan pihak menajemen PT. GNI dalam rilisnya, Ahad, 15 Januari 2023, hanya mengajak semua pihak untuk menjaga keberlangsungan investasi GNI, yang merupakan usaha yang memberikan manfaat, bukan hanya untuk kepentingan perusahaan, namun juga untuk masyarakat sekitar dan negara.

Selain menyatakan prihatin atas peristiwa rusuh berujung maut bagi dua pekerja (TKA dan lokal), pihak PT GNI sepertinya enggan menjelaskan apa soal mendasar yang terjadi di perusahaan itu.

‘NEGARA DALAM NEGARA’

Ketua Umum Komite Sarekat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, mennyatakan, kerusuhan berujung maut di PT GNI, memang sudah dapat diduga, karena kebijakan pemerintah tentang pembiaran derasnya tenaga kerja asing (TKA), khususnya dari China memang sudah sangat keterlaluan.

“Kawasan industri yang terbangun di berbagai wilayah tanah air, termasuk di Morowali Utara sudah seperti ‘negara dalam negara’,” kata Jumhur Hidayat, Senin, 16 Januari 2023 pagi.

Menurut dia, di kawasan-kawasan industri milik China itu, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa upah TKA China besarnya berkali-kali lipat lebih banyak dari upah pekerja lokal untuk jenis pekerjaan yang sama. Belum lagi fasilitas lebih bagus yang diberikan kepada TKA dengan alasan mereka orang asing. 

“Beberapa aturan termasuk aturan ketenagakerjaan boleh dibedakan dengan aturan yang pada umumnya berlaku di wilayah Indonesia, atau sengaja diubah demi investor dari China itu. Hal itu seperti aturan pajak dan aturan tidak boleh diskriminatif terhadap pekerja. Selain itu, juga adanya aturan ekspor hasil tambang wajib dijual dengan harga murah ke smelter-smelter yang notabene sekitar 90 persen milik China,” tegas Jumhur.

Penyebab lain terjadi ketegangan, karena puluhan ribu pekerja asing (TKA) tidak berpendidikan layak atau pekerja kasar, ternyata bisa menjadi pekerja di kawasan itu. Namun, mereka eksklusif karena tidak bisa berbaur dengan pekerja lokal akibat tidak diwajibkan berbahasa Indonesia, seperti aturan yang pernah berlaku selama puluhan tahun sebelumnya.

Anggota anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Ambo Dalle mengatakan, TKA itu harusnya bisa berbahasa Indonesia, agar dapat berkomunikasi dengan baik di antara sesama pekerja Indonesia.

“Banyak terjadi kesalahpahaman di antara pekerja, juga karena perbedaan bahasa. Jadi memang, sebaiknya ada regulasi yang mewajibkan pekerja asing berbahas Indonesia. Sama seperti kita kalau kerja di luar negeri, wajib berbahasa di negara tujuan itu,” kata Ambo Dalle.

APA YANG HARUS DILAKUKAN

Ajakan atau desakan agar pemerintah menutup PT. GNI, sebetulnya bukan solusi. Itu sama saja dengan membakar lumbung. Tidak menyelesaikan masalah.

Paling tidak, yang harus dilakukan saat ini adalah segera lakukan audit atas banyak hal, mulai dari regulasi negara terkait investasi smelter, khususnya dari China sampai pada pelaksanaan atas regulasi itu.

Jumhur Hidayat menyatakan, regulasi yang terkait dengan investasi China di Indonesia, sangat merugikan Indonesia, baik itu dari pendapatan maupun ketenagakerjaan.

Audit secara menyeluruh perlu dilakukan, agar mengerti banyak hal atas semua masalah yang sudah terakumulasi sampai berbuah kerusuhan yang berujung kematian itu.

Bayangkan saja, di mana-mana pemerintah teriak soal investasi itu ada keuntungan untuk rakyat, yang dapat dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi dari sisi lapangan usaha industri pengolahan, mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 12,80 persen. Tetapi kita lupa, pertumbuhan ekonomi tinggi itu, tidak berbading lurus dengan kesejahteraan rakyat, karena pertumbuhan itu ada di sektor pertambangan.

Trus keuntungan untuk rakyat dari sisi yang mana. Bahan-bahan pembangunan pabrik dan mesinnya saja diimpor dari China. Belum lagi perusahaan-perusahaan itu tax holiday yang bisa sampai 25 tahun lamanya. Belum lagi mereka datang ke Morowali Utara dengan membawa pekerja kasar, tapi dengan upah yang sangat tinggi dibanding pekerja lokal, karena itu dibolehkan menurut aturan yang dibuat pemerintah.

Nah, perlu jiwa besar semua pihak, baik itu pemerintah maupun pihak perusahaan dan pemangku kepenting lainnya, untuk mau terbuka dan berani melakukan audit secara menyeluruh. (*)