HMI versus PKI, menjadi judul dari artikel ini. Sengaja mengambil judul ini, karenan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) menjadi salah satu organisasi yang paling dibenci Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai komunis ini berjuang keras agar HMI dibubarka.
Di tahun-tahun awal kelahirannya, HMI telah terlibat dengan berbagai peristiwa penting di negeri ini. Organisa yang lekat dengan istilah hijau hitam itu, ikut mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan kolonial dan pemberontakan kelompok komunis melalui Madiun Affair 1948.
HMI, organisasi yang lahir pada 5 Februari 1947 berada di pihak pemerintah. Bersama dengan militer bahu-membahu mempertahankan Negara Republik Indonesia dan cita-cita Proklamasi.
PKI menuduh HMI anti Pancasila, antek Masyumi, terlibat PRRI, agen CIA, dan beberapa tuduhan lainnya.
Lantaran itu, PKI terus melakukan berbagai upaya untuk membubarkan HMI. Partai berhaluan komunis itu menggelar berbagai demonstrasi menuntut pembubaran HMI.
Teror juga dilakukan. Kader-kader HMI menjadi sasaran teror dari kader-kader PKI. Situasi itu, sangat tidak menguntungkan HMI, apalagi Presiden Soekarno mulai terpengaruh dengan propaganda PKI.
Upaya PKI membubarkan HMI nyaris berhasil. Soekarno mulai mempertimbangkan membubarkan HMI. Presiden RI yang pertama itu mulai menuduh HMI melakukan tindakan anti-revolusi dan bersikap reaksioner, aneh, menjadi tukang kritik, liberal dan terpengaruh oleh cara berfikir barat.
Peristiwa lainnya, HMI pernah dilarang di Universitas Brawijaya Cabang Jember. Peristiwa itu dikenal dengan nama Utrect.
PKI melalui sayap mahasiswanya yang bernama CGMI dan kawan seideologinya, mengeluarkan HMI dari anggota Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Islam (PPMI). Mereka berhasil.
Pada Oktober 1964, HMI diskors dari keanggotaan PPMI. Hal ini berlanjut pada upaya terus untuk pelarangan kader HMI di Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) agar HMI tidak dapat menjabat di organisasi intra kampus, seperti di UI, ITB, UGM, IPB, Unpad, Unhas, USU, dan lainnya.
HMI juga difitnah sebagai anak kandung Masyumi, Islam radikal, menolak Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi (Pembesrev), anti revolusi, antek imperialis, dan sekeranjang fitnah agar Presiden Soekarno membubarkan HMI, seperti Partai Masyumi dan GPII yang telah diperintah untuk bubar.
Mendapat serangan seperti itu, justu membuat meembuat semangat kader hijau semakin membara. PB HMI membuka jalan ke istana. Melakukan komunikasi politik, memberikan informasi pembanding atas fitnah PKI ke Soekarno.
Menteri Agama ketika itu (1965) KH Syaifuddin Zuhri, menteri Roeslan Abdulgani, Sucipto, dan menteri Syarif Tayeb adalah tokoh-tokoh di pemerintahan yang menolak pembubaran HMI. Penolakan itu disampaikan dalam diskusi bersama Presiden Soekarno.
“Pak, saya tidak ingin Presiden berbuat berlebihan. Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, maka tugas saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini,” tegas Menteri Agama KH Syaifuddin Zuhri.
Presiden Soekarno kaget dengan reaksi KH Syaifuddin Zuhri dan menjawab: Saya tetap memerlukan saudara membantu saya. Baiklah, HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan menjadi organisasi yang progresif, Saya minta Anda (Syaifuddin Zuhri), bersama Nasution, Ruslan Abdulgani dan Syarif Thayeb untuk membimbing HMI,” tegas Soekarno.
Akhirnya, Presiden Soekarno bersedia menjadi instruktur, menjadi pemateri pada kegiatan perkaderan HMI meningkatkan militansi yang progresif revolusioner di seluruh Indonesia.
HMI mengakui Presiden Soekarno sebagai Pembesrev. Tapi sebagai kompromi politiknya, HMI Cabang Jember dibekukan akibat kasus Utrect.
Ketua Umum HMI Cabang Jember marah, dan menyalahkan PB HMI. Tetapi itulah kompromi politik, demi tegaknya HMI.
SOLIDARITAS
Organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PII), Generasi Muda Islam, di bawah komando Gerakan Pemuda Anshor GP Anshor yang dipimpin Yusuf Hasyim, membentuk solidaritas membela HMI agar tidak dibubarkan.
“Langkahi mayatku sebelum membubarkan HMI” dari kader PII menjadi energi yang mengobarkan semangat perjuangan kader HMI. Dari PMKRI juga membela HMI.
Dukungan moral dan politik datang juga dari petinggi ABRI/ Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani. Bahkan kader HMI dilatih fisik dan teknik menggunakan senjata.
“Jika HMI dan Soksi hari ini diganyang oleh PKI, maka tidak mustahil, besok atau lusa PKI akan mengganyang Angkatan Darat,” kata Jenderal Ahmad Yani.
Brigjen Soetjipto ikut menyatakan: Go ahead HMI. (Sumber: Sulastomo, Hari-hari Yang Panjang 1963-1966).
Pernyataan Jenderal Ahmad Yani itu terbukti kemudian. Terjadilah tragedi berdarah yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) 1965.
PKI dibantu Pasukan Tjakrabirawa menculik dan membunuh tujuh jenderal dan perwira Angkatan Darat. Para korban keganasan PKI itu yang kita kenal sebagai Pahlawan Revolusi.
PEMBUBARAN PKI
Saat terjadinya kudeta G30S/PKI itu, bertapatan Mar’ie Muhammad, Nazar Nasution, Ridwan Saidi dan Harun Kamil sedang berdiskusi hingga larut malam.
Paginya mereka naik becak ke kantor PB HMI di Jalan Diponegoro 16. Setiba di PB HMI, mereka mendengar pengumuman lewat radio bahwa telah terbentuk Dewan Revolusi dipimpin Kolonel Untung.
Karena belum jelas siapa Kolonel Untung, Dewan Revolusi dan sebagainya itu, para tokoh HMI berangkat ke Jalan Sumatra, kediaman Penasehat PB HMI 1963-1969 Dahlan Ranuwihardjo. Beliau juga Ketum PB HMI 1951-1953.
Dahlan Ranuwihardjo kemudian meminta Mar’ie Muhammad, Nazar Nasution, Ridwan Saidi dan Harun Kamil keliling kota Jakarta, memantau situasi di lapangan.
Hingga sore harinya, diketahui bahwa Dewan Revolusi adalah bentukan PKI, untuk merebut kekuasaan melalui kekuatan Angkatan ke-5 (buruh-tani-nelayan-pemuda).
AKhirnya, PB HMI memutuskan untuk melakukan pendekatan dan lobi ke beberapa tokoh, antara lain Subchan ZE (PB NU) dan Harry Tjan Silalahi (Partai Katolik).
Kemudian para tokoh itu bersepakat untuk membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan G30S (KAP Gestapu). Harry Tjan dan Subchan ZE menjadi pemimpinnya. Wadah ini kemudian menjelma menjadi Front Pancasila.
Unjuk kekuatan pertama oleh KAP Gestapu terjadi pada 3 Oktober 1965 di Taman Sunda Kelapa. Bendera pendukung KAP Gestapu dan spanduk-spanduk anti komunis berkibar di lapangan tersebut.
Peristiwa inilah yang mempelopori berbagai demonstrasi dan aksi untuk mengganyang dan membubarkan PKI, melibatkan sejumlah aktivis HMI (antara lain Ekki Syahruddin, Firdaus Wadjdi, Fahmi Idris, Farid Laksamana).
Dengan tekad perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, maka HMI yang semula menjadi target pembubaran oleh PKI, namun akhirnya PKI lah yang dibubarkan pada 12 Maret 1966.
Ini merupakan perjuangan yang gigih, bukan hanya oleh para aktivis HMI, tetapi dukungan segenap lapisan masyarakat, baik pemuda, intelektual dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. (*)
Tinggalkan Balasan