PARIGI MOUTONG –  Dengan langkah mantap, seorang pria muda bergegas menuju hutan. Bergegas, karena ia harus berlomba dengan matahari, yang sebentar lagi akan menyirami bumi. Namanya Sakka, usianya ditaksir sekitar 34 tahun.

Sakka, sehari-harinya adalah petani di Desa Oncone Raya, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng), tiba di hutan yang dituju. Matanya awas memeriksa satu per satu pohon aren yang tumbuh subur di bebukitan hutan sekitar.

Berbekal parang dan jerigen berkapasitas lima liter, Sakka terus meriksa pohon aren, yang kemungkinan sudah dapat disadap.  Sakka juga tak lupa mengambil air nira dalam jerigen di pohon aren yang sudah dipasang sehari sebelumnya, kemudian menggantinya dengan jerigen yang masih kosong.

Sakka terlihat begitu lincah ketika memanjat pohon aren yang  tingginya sekitar tujuh hingga 10  meter itu. Kaki kita gemetar ketika menyaksikan atraksi Sakka memanjat pohon aren. Tetapi dengan santainya Sakka terus memanjat.  Bahkan seakan ia mempermainkan orang yang berada di bawahnya dengan melepas satu tangannya, sembari melemparkan senyum.

“Memangnya Pak Sakka tidak takut jatuh? Bisa panjat berapa pohon sehari Pak,” tanya kaidah.id kepada Sakka.  

“Saya sudah biasa, jadi tidak takut lagi. Setiap hari, dua kali saya panjat pohon aren untuk mengganti jerigen yang sudah penuh, dengan jerigen yang kosong. Besoknya begitu lagi,” kata Sakka menjawab pertanyaan itu.

Di kampungnya, Sakka dikenal sebagai petani yang ulet dan gigih. Ia juga mau terus belajar untuk maju. Lantaran itu, Sakka yang awalnya hanya mengolah air nira menjadi gula aren batok atau biasa dikenal dengan gula merah, ia akhirnya terpilih mewakili kelompok tani di kampungnya itu untuk mengikuti pelatihan  membuat gula semut di Yogyakarta. Perjalanan Sakka ke pelatihan itu, difasilitasi  oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dampelas Tinombo, Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng.

SEMPAT BINGUNG

Sakka mengaku  sempat bingung, karena pelatihan bahan bakunya dari gula kelapa, sementara ia sendiri mengolah gula merah dari pohon aren. Tetapi ia yakin, air dari pohon aren itu dapat diolah juga menjadi gula semut.

Sakka, petani di Desa Oncone Raya, Parigi Moutong yang menjadi inspirasi
(Foto: kaidah/alfian)

Sepulangnya dari pelatihan di Yogyakarta itu, Sakka mulai menjajal kemampuannya. Meski dengan alat sederhana ia berhasil mengolah air dari pohon aren itu menjadi gula semut. Setelah berhasil, Sakka kemudian berbagi pengetahuannya itu kepada anggota kelompoknya. 

Kini Sakka dan kelompok tani yang diberi nama Matujutuju itu, mendapat dukungan KPH Dampelas Tinombo,  dengan membangunkan rumah produksi di Desa Oncone Raya. Kini  Sakka dan Matujutuju telah menghasilkan produk gula semut yang sudah terkenal hingga ke Jakarta.

Dalam sehari, Sakka dan Matujutuju berhasil memproduksi 10 kilogram gula semut, baik yang original maupun gula semut rasa jahe. Semua produk olahan itu, telah  mengantongi izin Produk Industri Rumah Tangga (PIRT).

Berhasil dengan gula semutnya, Sakka kembali mewakili kelompoknya bersama KPH Dampelas Tinombo sebagai pendampingnya, menjadi narasumber di  acara Exspose Forest Investment Programme II  di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia di Jakarta 2019 lalu.

Dari situlah, Sakka dan Matujutuju semakin terkenal. Maka jangan heran, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Sulteng, selalu membawa gula semut produksi Sakka itu untuk dipamerkan di setiap kegiatan nasional di beberapa daerah.

Sungguh, Sakka dan Matujutuju telah menyulap pohon aren menjadi gula semut. ***