SIGI –   Para perempuan berbaris rapi. Parang yang diselip dalam sarungnya melilit di pinggang mereka. Sembari menggendong keranjang, para perempuan itu berjalan di jalanan yang berbukit. Di sisi kanan mereka ada perbukitan dan di sisi kirinya jurang. Bahaya? Iya. Tetapi tidak bagi mereka, karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap hari.

Pagi yang masih berkabut itu, tak menyurutkan semangat para perempuan Kulawi di Kabupaten Sigi itu mencari nafkah untuk keluarga mereka. Pagi itu, mereka hendak pergi ke Pampa, lahan kebun yang di areal yang datar tapi tak jauh dari pemukiman. Di dalamnya,  beragam jenis tanaman sayur, umbi-umbian, jagung, cabe  dan berbagai jenis tanaman penghasil bumbu dapur lainnya.

Desmon Riha, salah seorang pemangku adat di Kulawi menjelaskan, Masyarakat Topo Moma dan Uma di Kecamatan Kulawi,  memiliki sistim pengelolaan ruang hidup atau wilayah kelola yang dianut secara turun temurun.

Pembagian zonasi pengelolaan ruang hidup itu, juga diberikan kepada perempuan Kulawi di dalam pengelolaan pangan.

“Ruang atau wilayah kelola yang otoritas pengelolaannya diberikan pada perempuan itulah yang disebut Pampa,” jelas Desmon Riha.

Bagi perempuan  Kulawi, Pampa punya banyak nilai yang sangat besar. Dari nilai ekonomi, Pampa dianggap sebagai supermarket sayuran, karena segala sesuatu yang menjadi kebutuhan sayuran rumah tangga,  tersedia di pampa.

“Segala kebutuhan sayur mayur dan umbi-umbian tersedia, dan  tanpa mengeluarkan biaya yang besar, kita sudah dapat menikmatinya,” kata Desmon.

Dari nilai sosial, menurut dia, di lokasi Pampa itu, kaum perempuan dapat berinterkasi satu sama lain, tanpa mengenal batasan sosial. Selain itu, dari sisi kemandiran perempuan, pampa menjadi tempat atau media bagi para perempuan membuktikan dan membentuk jati diri sebagai sosok yang tangguh dan mandiri.

“Perempuan Kulawi tidak bergantung pada laki-laki untuk mencari nafkah,” ujarnya.

Perempuan Kulawi saat panen sayuran di Pampa. Di sini juga menjadi media pembelajaran bagi bu-ibu ini untuk mengajarkan anak-anak mereka mengenal jenis sayuran (Foto: Kaidah/Desmon)

Ritual Adat

Karena banyak nilai dan kearifan lokal di dalam semangat pampa itulah, sehingga untuk membuka lahan atau pampa, harus diawali dengan upacara atau ritual adat yang dipimpin Topo Gane atau tetua adat yang dianggap mampu berkomunikasi dengan Tope Hoi (Sang Penguasa Alam Semesta) sehingga Pampa pun memiliki nilai-nilai spiritual di dalamnya.

“Tidak sembarang membuka pampa itu. Kita harus berkomunikasi dengan Sang Penguasa, agar Dia senantiasa menjaga kita dan pampa dari segala gangguan,” kata Desmon Riha.

Lantaran itulah, banyak pantangan atau palia yang harus dipatuhi saat membuka pampa. Palia atau larangan itu, antara lain tidak boleh ada yang membawa rotan melewati lahan pampa saat lahan dibuka.

“Jika ada yang melanggar palia maka tanaman akan terserang hama atau hasil tanaman  menjadi rusak atau busuk,” jelasnya.  

Sistem kerja Mome Ala Pale, menjadi tradisi membuka pampa yangtak pernah lekang oleh waktu. Mome Ala Pale adalah sistem kerja bergilir yang dilakukan secara berkelompok, yang mencerminkan nilai kebersamaan atau gotong royong.

“Ini sudah menjadi budaya perempuan masyarakat Kulawi secara turun temurun. Hampir tidak kelihatan peran laki-laki di lahan pengelolaan pampa karena hampir semua pekerjaan dari membersihkan rumput, menanam, memelihara tanaman, sampai memanen. Semua dikerjakan oleh kaum perempuan,” urai Desmon.

Nilai lain yang tak kalah penting dari Pampa, adalah mengajarkan nilai pendidikan sebagai media belajar non formal bagi anak–anak saat menghabiskan waktu bermain bersama ibunya, sembari diperkenalkan jenis tanaman yang ada di pampa.

Sulawesi Tengah, memang kaya dengan kearifan lokal. Kelak, tradisi ini semoga tidak tergerus oleh waktu, dan terus dipertahankan oleh masyarakat. ***