Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

HALAMAN KANTOR DPRD Sulawesi Tengah pada Senin, 1 September 2025 siang, tak ubahnya lautan manusia. Sejak pukul 11.50 WITA, ribuan mahasiswa sudah memenuhi halaman dan jalanan sekitar gedung dewan.

Dengan almamater yang menyala di bawah terik matahari, mereka membawa poster, spanduk, serta lantang menyuarakan tuntutan.

Orasi demi orasi menggema, menandai gelora semangat anak muda yang menolak bungkam. Suara mereka satu: menuntut keadilan atas tindakan represif aparat kepolisian terhadap massa aksi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Di tengah riuh itu, sorak tiba-tiba membesar ketika Ketua DPRD Sulteng, M. Arus Abdul Karim dengan kemeja krem dipadu celana panjang hitam, dan kopiah, muncul di depan massa. Ia tidak menunggu di ruang rapat ber-AC, tidak bersembunyi di balik pagar gedung tinggi.

Ketua DPRD Sulteng melangkah keluar, menatap langsung ribuan mahasiswa yang menanti didengar. Kehadirannya membuat suasana bergeser, dari jarak yang renggang menjadi kedekatan yang nyata.

Dengan tangan terbuka, M. Arus Abdul Karim menerima aspirasi, seakan ingin menunjukkan bahwa rumah dewan adalah tempat rakyat, bukan benteng penguasa. Padahal, kemarin ia masih berada di Jakarta untuk urusan dinas.

“Saya harus pulang, karena akan ada demo di DPRD Sulawesi Tengah. Saya harus temui pendemo,” katanya.

Tak lama kemudian, menyusul hadir Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid. Dari sisi lain, Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid, juga datang bergabung, sementara sosok yang tak kalah disambut hangat, mantan gubernur Rusdy Mastura, ikut berdiri di tengah kerumunan.

Empat tokoh itu, dengan jabatan, latar, dan generasi berbeda, turun langsung menemui mahasiswa. Bukan dari podium tinggi, bukan dari jarak yang dingin, melainkan di halaman, di antara keringat dan semangat ribuan demonstran.

Dialog kecil tercipta. Orasi mahasiswa yang keras berganti dengan percakapan, dengan janji untuk mendengarkan, dengan pertemuan pandangan mata yang tulus.

Bagi mahasiswa, momen itu adalah bukti, suara mereka tak sia-sia, tuntutan mereka tidak hanya melayang di udara, tetapi benar-benar sampai pada orang-orang yang memegang amanah kekuasaan.

Bagi para pemimpin, pertemuan itu adalah pengingat, bahwa legitimasi sejati tak lahir dari kursi empuk atau tanda jabatan, melainkan dari keberanian untuk hadir di tengah rakyat.

Waktu terus berjalan. Dari siang menuju sore, bmi Palu yang basah dengan hujan, perlahan digantikan cahaya lembut matahari yang condong ke barat. Pukul 15.30 WITA, aksi mulai reda. Namun yang tersisa bukanlah ketegangan, melainkan rasa lega dan bangga.

Di akhir demo, mahasiswa dan para pemimpin berdiri bersama-sama, merapat dalam sebuah foto. Ribuan kamera ponsel mengabadikan momen bersejarah itu.

Tiba-tiba, langit Palu dihiasi letusan kembang api yang menyala di udara, menutup rangkaian unjuk rasa dengan cahaya gemerlap. Sorak gembira pun pecah, menenggelamkan suara orasi yang sejak siang.

Hari itu, Palu memperlihatkan wajah demokrasi yang hangat. Unjuk rasa ribuan mahasiswa tidak berakhir dengan ketegangan, melainkan dengan keakraban. Tuntutan disampaikan, pemimpin hadir, dialog terjalin, dan kebersamaan dirayakan dengan cahaya kembang api.

Sejarah kecil ini menjadi teladan: bahwa di tengah perbedaan, di tengah kritik, masih ada ruang untuk saling menghargai. Bahwa demokrasi bukan hanya tentang menyuarakan aspirasi, tetapi juga tentang mendengarkan dengan hati.

Dan ketika foto bersama di halaman DPRD itu tersimpan dalam ingatan banyak orang, ia akan selalu mengingatkan bahwa kepemimpinan sejati adalah keberanian untuk keluar, berdiri di tengah rakyat, dan menyambut mereka dengan senyum. Sebuah pelajaran sederhana namun berharga, yang barangkali lebih kuat daripada ribuan kata pidato. (*)

Wallahu a’lam