Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
DI KAMPUNG-KAMPUNG yang jauh dari gemerlap kota hingga alun-alun keraton yang sakral, Rabiul Awal senantiasa datang sebagai musim cahaya. Anak-anak memeluk bedug kecil, orang tua menyiapkan dulang, para remaja belajar melantunkan syair Barzanji.
Kemdian malam pun mengembang, dan dari serambi masjid mengalun shalawat, suara yang menyeberangkan rindu pada seorang manusia yang lahir yatim, tumbuh jujur, menolak kekerasan dengan kelembutan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kita merayakan Maulid bukan karena sejarah memaksa kita mengingat tanggal. Kita merayakannya karena cinta perlu tempat. Tempat untuk dituturkan, dikerjakan, dan dihidupkan.
Cinta itu menjelma jadi doa yang pelan, gunungan yang diarak, nasi yang dibagi. Tepung yang diuleni menjadi kue, telur yang dihias, yang oleh masyarakat Kaili di Lembah Palu, Sulawesi Tengah, menyebutnya Baraka.
Di setiap detail yang tampak sederhana itu, ada pesan yang amat besar, “Teladan tidak cukup dikenang tetapi ia mesti ditiru.” Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di Halmahera, nama itu adalah Cokaiba, sebuah perayaan yang menautkan zikir, kisah, dan tarian dengan topeng tradisional. Warga berkumpul menyambut kelahiran Nabi, menghadirkan sukacita ke tengah kampung; sebuah jembatan antara kearifan Fagogoru dan syiar Islam. Cokaiba menunjukkan bagaimana budaya lokal memeluk pesan kenabian tanpa kehilangan akar.
Di Sulawesi Selatan, terutama Cikoang, Takalar, gema Maulid membesar menjadi Maudu’ Lompoa, Maulid Akbar. Perahu-perahu hias (jala-jala) yang penuh sesaji simbolik diarak, shalawat dikumandangkan, dan laut menjadi saksi syukur yang membuncah. Di sana, Maulid adalah pesta ilmu, adat, dan ibadah yang saling menyanggah seperti tiga kaki tungku.
Di Gorontalo, Maulid menjelma menjadi Walima. Warga menyusun tolangga, rangka perahu atau menara yang sarat kue tradisional seperti kolombengi, curuti, dan wapili. Seharian semalam, zikir dikili mengalun sampai dini hari, sebelum kue-kue dibagi; rezeki diikatkan pada kebersamaan. Walima adalah pelajaran terbuka: yang manis bukan sekadar kue, melainkan persaudaraan.
Di Cirebon, Jawa Barat, keraton-keraton merayakan Muludan dengan puncak prosesi Panjang Jimat. Iring-iringan, pembacaan Barzanji, dan simbol-simbol kelahiran manusia dirangkai hati-hati, sebuah teater makna yang mengajar kita, bahwa kemuliaan lahir dari keteraturan batin, dari ingatan yang dijaga bersama.
Di Banyuwangi, Suku Osing mengarak Endog-endogan, telur-telur yang dihias dan ditancapkan pada batang pisang, berjalan di kampung sambil bershalawat.
Telur, simbol awal kehidupan, menjadi pengingat: kelahiran Nabi adalah pembuka jalan bagi hidup yang lebih beradab. Arak-arakan usai, telur dibagi; ilmu yang dibawa Nabi memang untuk dibagikan, bukan disimpan sendiri.
Di Lombok Utara, masyarakat adat Bayan meneguhkan Maulid Adat Bayan di Masjid Kuno Bayan Beleq. Rangkaian dua hari, kayu aiq (persiapan bahan dan perangkat) lalu doa dan jamuan, memadukan kesakralan adat dan syiar Islam.
Para praja mulud berarak; kampung-kampung mengalirkan hasil bumi yang menjadi sedekah bersama. Di sana, agama tidak memutus tradisi, melainkan memurnikannya.
Di Bangka Belitung, kebersamaan mengejawantah dalam Nganggung, setiap rumah membawa satu dulang makanan, disatukan di masjid atau lapangan.
Setelah doa, dulang dibuka: “rezeki kita” lebih indah daripada “milikku” dan “milikmu.” Yang terhidang bukan hanya lauk, melainkan silaturahmi yang mengenyangkan jiwa.
Di Yogyakarta dan Surakarta, kemeriahan Grebeg Maulud menandai harmoni antara budaya dan iman. Gunungan yang diarak bukan sekadar hiasan; ia alegori tentang rezeki Tuhan yang harus dibagi adil, seperti Nabi yang selalu memikirkan yang paling lemah di antara kita.
Lihatlah: nama bisa berbeda, Cokaiba, Maudu’ Lompoa, Walima, Panjang Jimat, Endog-endogan, Maulid Adat Bayan, Nganggung, Grebeg Maulud, namun nafasnya sama. Setiap tradisi adalah kamus lokal untuk menerjemahkan cinta kepada Rasul.
Setiap pawai, zikir, dan jamuan adalah cara-cara kreatif masyarakat menyetel hati pada frekuensi akhlak beliau: jujur, tulus, dermawan, sabar, dan rendah hati.
Maka mengapa kita merayakan Maulid? Karena kita tak sudi membiarkan teladan Nabi menjadi cerita yang dingin di rak buku. Kita ingin ia berdenyut dalam hidup: dalam cara kita menyapa tetangga, dalam cara kita membagi makanan, dalam cara kita menahan amarah di jalan, dalam cara kita memeluk yang sedih dan menyemangati yang letih.
Pada akhirnya, Maulid adalah cermin. Bila selesai acara kita pulang dengan hati yang lebih lapang, tangan yang lebih ringan memberi, dan lisan yang lebih rajin bershalawat—berarti cermin itu bening.
Bila belum, kita datang lagi tahun depan, belajar lagi, sebab cinta memang butuh diulang, sebagaimana shalawat yang tak putus diulang: Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad, wa ‘ala Alihi Sayyidina Muhammad. (*)
Wallahu a’lam
Artikel ini merujuk pada:
https://ijmmu.com/index.php/ijmmu/article/view/5765
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/6.+Saskia+Amelia,+h.+49-56.pdf
(https://berita.gorontaloprov.go.id/2022/10/16/keunikan-tradisi-walima-peringatan-maulid-nabi-di-gorontalo/
https://www.detik.com/jabar/budaya/d-7543706/tradisi-panjang-jimat-cara-keraton-kasepuhan-cirebon-peringati-maulid-nabi
https://radarbanyuwangi.jawapos.com/seni-budaya/755054988/endog-endogan-tradisi-masyarakat-banyuwangi-rayaan-maulid-nabi-muhammad-saw-gunakan-kembang-kertas-dan-telur
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/7-14_Rohmi+fix.pdf


Tinggalkan Balasan