JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) hasil perubahan UUD 1945  sebanyak empat kali 1999-2002, sudah lain dari yang lain. Sifat tertingginya telah tersapu cinta buta demokrasi. MPR dulu telah melayang, terbang entah kemana. MPR itu telah terkubur. MPR itu telah masuk kedalam kubangan tipu-tipu canggih demokrasi liberal.

MPR sekarang, kata dosen Universitas Khairun Ternate itu,  tak lagi menjadi lembaga yang padanya pertanggungjawaban Presiden ditujukan. Hebatnya sistem presidensial hasil perubahan UUD 1945, persis Amerika. Presiden tak bertanggungjawab pada DPR, juga tak bertanggung jawab pada lembaga apapun. 

“Sempurna liberalismenya,” kata Margarito.

Presidensialisme Indonesia hasil perubahan UUD 1945 beroperasi dalam rimba raya partai politik. Presidensialisme hasil pemilu 2019, beroperasi dalam topangan buta mayoritas partai di DPR. Tetapi memang demokrasi selalu begitu. Demokrasi tak dapat memaksa parpol untuk tertib tunduk pada pesan-pesan arif pembuat UUD.

Hasilnya? Menurut Margarito, new normal. Mengerikan. Hak budget, yang merupakan mahkota DPR di manapun di dunia ini, dilepas dengan senang hati. Mungkin juga sukacita. Presidenalisme bekerja superefektif, mendekati tak terbatas.

“Presidensialisme dibiarkan bekerja secara independen,” kata dia.

Menurut Margarito Kamis, new normal, tak memungkinkan DPR diminta. Misalnya, mengoreksi iuran BJPS, juga harga minyak. Ini new normal. Yang paling mungkin adalah memanggil doa. Berdoalah agar tampilan persekutuan angkuh ala demokrasi busuk ini berubah. Tidak semakin membuat suram tata negara ini.

“Tak usah dikuasi ketakutan. Tapi mari berdoa semoga new normal tidak terus-terusan membuat kritik terhadap pemerintah disamakan dengan memfitnah, menghina, lalu dipenjara,”tegasnya.

Margario mengingatkan, berharaplah kepada Allah Subhanahu Azza wa Jalla agar DPR dan Presiden tahu, bahwa impian bernegara secara modern, berutang banyak pada norma hukum alam tentang kemuliaan manusia.

Margarito menambahkan, manusia adalah mahluk ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala. Hukum alam menggariskan, manusia tidak bisa direndahkan untuk alasan dan kepentingan apapun. Ini memompa energi kemanusiaan Sir Edward Coke, yang kala itu menjabat sebagai Chief Justice of King Bens menantang raja James I.

Coke lalu mengambil sudut oposisi tulen terhadap Raja James I. Raja ini telah terbakar ambisi dan keangkuhan, sehingga selalu ingin menaklukan parlemen. Ketika James I meminta kepada parlemen mengotorisasi dana sebesar E500.000, tenyata parlemen hanya menyetujui E160.000. Raja marah.

Tidak cukup untuk membiayai perang dengan Spanyol. Lalu dengan hak prerogatifnya, James memaksa parlemen memberi penjelasan, dan memperbesar jumlahnya. Celaka, parlemen menolak. Marah terhadap sikap parlemen, menurut Charles J. Reid dalam buku The Sevententh-Century Revolution in the English Law, mengakibatkan James I membubarkan parlemen. Ini terjadi tahun 1621. 

Menariknya, kata dia, hingga kekuasaannya berakhir tahun 1625, parlemen tetap tak memenuhi permintaannya. Penerusnya, Charles I yang berkuasa tahun 1626 segera merehabilitasi parlemen. Tetapi parlemen tak pernah mau tunduk prerogatifnya di bidang keuangan. Sepanjang 1626-1629, Charles mengadakan empat kali pertemuan dengan parlemen, dan setiap kali pertemuan selalu penuh badai. 

Menurut Margarito, Indonesia hari ini terlihat berada sangat dekat dengan praktik tipikal abad 17. Mengeritik kebijakan, disamakan dengan mengeritik pribadi pejabat negara. Dengan semangat yang mirip, pemerintah menempuh cara, entah apa namanya, menangguhkan sementara Dana Bagi Hasil DKI Jakarta.

Demokrasi tak memberi tempat untuk bersedih. Tetapi menurut Margarito, mari ingatkan DPR untuk meresapi pesan Profesor Soepomo. Katanya pada rapat besar Panitia Perancang UUD 1945 tanggal 15 Juli 1945, “Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara, semangat penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.”

Semangat apa? Bukan semangat liberal, bukan pula semangat gotong royong tanpa arah. Semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Semangat mengayomi rakyat, tanpa pandang asal-usul, kekuatan ekonomi dan sejenisnya. Itulah semangat yang didambakan Soepomo dan kawan-kawan.

“Sedetik saja semangat ini melayang, maka the new normal, dengan the new norm-nya menjadi malapetaka buat bangsa ini. Serpihan-serpihan new norma yang dihasilkan oleh new normal di bidang tata negara saat ini, untuk alasan kesehatan bangsa ini, harus dihindarkan,” demikian Margarito Kamis.*