SAYA MENULIS artikel ini di atas pesawat dalam perjalanan malam dari Jakarta menuju Palu. Syukurlah, saya dapat menyelesaikannya, tepat saat pesawat mendarat, ketika matahari mulai menyapa dari ufuk timur Kota Palu.

Oleh: Muhd. Nur Sangadji
Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Tadulako

Tulisan ini saya dedikasikan untuk mahasiswa saya yang mengambil mata kuliah Kajian Lingkungan Hidup, dan juga kepada mereka yang tengah berikhtiar menjadi gubernur, bupati, atau wali kota pada Pemilihan Serentak 2024. Semoga memberikan manfaat.

Sehari sebelumnya, saya terlibat penuh dalam Rapat Koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia yang membahas tata kelola lingkungan dengan tema Better Environment for Sustainable Investment Towards Indonesia Emas 2045. Pertemuan ini dihadiri oleh para akademisi lingkungan hidup dari universitas ternama seperti UI, ITB, IPB, UGM, dan UNHAS.

Dalam rakor tersebut, kami berdiskusi mengenai isu-isu lingkungan yang mendesak, seperti perubahan iklim, pengelolaan sampah, dan pelestarian keanekaragaman hayati. Para akademisi yang diundang oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyepakati bahwa kolaborasi adalah kunci dalam mengatasi tiga isu besar ini.

Perjalanan saya cukup padat. Saya harus berangkat subuh dan pulang subuh juga, karena keesokan harinya harus mengelola talk show bertajuk Ekonomi Hijau dalam rangka memperingati Hari Statistik Nasional di Kota Palu, yang diselenggarakan oleh BPS. Fokus pembahasannya adalah pentingnya data dalam menunjang ekonomi hijau.


Dalam pertemuan di Jakarta, peserta dibagi ke dalam empat kelompok kerja: akademisi, pemerintah, dunia usaha, dan sektor keuangan. Setiap kelompok membahas topik yang sama, namun dari perspektif yang berbeda. Fokus utama adalah inovasi, teknologi, kelembagaan, dan kolaborasi.

Pada kesempatan tersebut, saya menyampaikan pandangan bahwa orientasi kita saat ini lebih banyak berfokus pada rehabilitasi atau mitigasi setelah terjadi kerusakan lingkungan. Padahal, konservasi adalah solusi yang lebih efisien dan hemat energi.

Topik yang menjadi sorotan adalah investasi hijau. Saya mencoba mengalihkan pola pikir dari konsep cost center (pengeluaran biaya) menjadi benefit center (sumber keuntungan). Lingkungan, yang selama ini dianggap beban biaya, sebenarnya bisa memberikan manfaat, misalnya dengan mengubah sampah menjadi energi.

Pemikiran ini tentu bukan hal baru, namun sekarang adalah saat yang tepat untuk mengutamakannya. Namun, kita juga harus berhati-hati, karena investasi, terutama yang bersifat ekstraktif, sering kali berdampak buruk pada lingkungan. Banyak sumber daya lokal, mulai dari hutan, keanekaragaman hayati, laut, hingga sumber pangan, terancam oleh kegiatan-kegiatan tersebut.


Contoh paling nyata adalah hutan sagu. Banyak industri pertambangan dan perkebunan telah menyebabkan kerusakan besar pada hutan sagu, bahkan untuk alasan penyediaan pangan. Pembukaan lahan sawah baru sering kali dilakukan dengan menebang hutan sagu secara besar-besaran.

Ironisnya, untuk menanam padi, kita justru mengorbankan sagu, sumber karbohidrat yang sama pentingnya. Padahal, dengan menjaga hutan sagu, kita bisa menciptakan benefit center tanpa banyak energi. Pohon sagu tumbuh secara alami dan berkembang biak dengan sendirinya, tanpa perlu perawatan seperti tanaman padi.

Pohon sagu juga tidak memerlukan pupuk, pestisida, atau irigasi mahal. Jadi, ada yang salah dalam cara kita berpikir dan bertindak terkait pengelolaan sumber daya alam.

Tragedi pohon sagu hanyalah salah satu contoh. Masih banyak kesalahan lain yang perlu kita perbaiki dalam tata kelola lingkungan. Misalnya, infrastruktur irigasi yang dibangun dengan biaya besar untuk mengaliri sawah, bisa terancam karena pembukaan lahan sawit di daerah tangkapan air.

Sayangnya, hal-hal seperti ini sering menjadi komoditas politik dalam Pilkada, dan itu sangat meresahkan. Semoga, kita bisa menghindari barter sumber daya alam untuk kepentingan politik.

Wallahu a’lam.

Editor: Ruslan Sangadji