JAKARTA, KAIDAH.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan, ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Kamis, 2 Desember 2024, di Ruang Sidang Pleno MK, Mahkamah menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan, putusan ini diambil berdasarkan pertimbangan hukum yang mendalam.

“Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berapa pun besarannya, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ungkap Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum dalam Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.

HAK KONSTITUSIONAL PEMILIH DIBATASI

Dalam pertimbangan hukumnya, MK mencatat, presidential threshold selama ini membatasi hak konstitusional pemilih, dengan mengurangi alternatif pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hal ini menciptakan dominasi partai politik tertentu dalam pengusulan pasangan calon, sehingga pemilih tidak mendapatkan pilihan yang memadai.

MK menilai, aturan ini berpotensi mengarah pada situasi pemilu yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon atau bahkan calon tunggal, yang dapat memperburuk polarisasi masyarakat.

“Dengan hanya dua pasangan calon, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam kebhinekaan Indonesia. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin pemilu akan terjebak pada calon tunggal,” jelas Saldi.

PERGESERAN PARADIGMA MK

Putusan ini, menandai perubahan pandangan MK dari putusan-putusan sebelumnya. MK menyatakan, mempertahankan presidential threshold bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Ketua MK Suhartoyo menegaskan, keputusan ini bertujuan memperluas partisipasi politik rakyat, sejalan dengan Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

“Makna hakiki dari pemilihan presiden langsung adalah memberikan rakyat banyak pilihan. Dengan demikian, mempertahankan ketentuan threshold tidak sesuai dengan tujuan tersebut,” jelas Suhartoyo.

Dalam putusannya, MK juga memberikan pedoman bagi pembuat undang-undang, untuk merancang aturan baru yang lebih sesuai dengan prinsip demokrasi. Beberapa poin utama pedoman tersebut meliputi:

  1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
  2. Pengusulan pasangan calon tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
  3. Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon akan dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
  4. Perubahan UU Pemilu harus melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

KRITIK TERHADAP PRESIDENTIAL THRESHOLD

Permohonan uji materi ini diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan tiga mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Para Pemohon menyatakan, presidential threshold menciptakan ketimpangan dalam sistem demokrasi, karena nilai suara dalam pemilu tidak selalu sebanding dengan representasi yang dihasilkan.

“Prinsip one man one vote one value, tersimpangi oleh adanya presidential threshold. Nilai suara digunakan untuk dua periode pemilu, yang mengarah pada distorsi representasi,” jelas para Pemohon.

Selain itu, permohonan serupa juga diajukan dalam tiga perkara lainnya oleh akademisi dan organisasi masyarakat, termasuk Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit).

Dalam putusan ini, dua hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Namun, mayoritas hakim menilai bahwa dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. (*)

Editor: Ruslan Sangadji