JAKARTA, KAIDAH.ID – Suasana Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) memanas pada Kamis, 2 Januari 2025. Semua mata tertuju pada Hakim Konstitusi yang akan menyampaikan putusan penting.
Setelah berbulan-bulan ditunggu, MK akhirnya menyatakan, ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini sekaligus menandai berakhirnya dominasi partai politik dalam menentukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menegaskan aturan presidential threshold melanggar hak konstitusional rakyat.
“Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Rezim ambang batas hanya mempersempit ruang demokrasi dan membatasi alternatif pilihan bagi rakyat,” ujar kata Saldi dalam sidang yang dihadiri oleh sejumlah pengamat politik, akademisi, dan masyarakat sipil.
MENGEMBALIKAN KEDAULATAN RAKYAT
Aturan ambang batas pencalonan presiden memunculkan kritik tajam. Banyak pihak menyebutnya sebagai penghalang demokrasi, karena mengonsentrasikan kekuasaan pada partai-partai besar. MK mencatat, threshold ini berkontribusi pada fenomena pemilu yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon atau bahkan calon tunggal, yang memperburuk polarisasi politik di tengah masyarakat.
“Dengan hanya dua pilihan, rakyat terjebak pada perpecahan yang tajam. Ini bukanlah esensi demokrasi kita,” tambah Saldi Isra.
Putusan ini membuka peluang bagi semua partai politik peserta pemilu, untuk mengusung pasangan calon, tanpa harus memenuhi persyaratan persentase suara atau kursi di DPR. Bagi banyak kalangan, keputusan ini adalah angin segar yang akan membawa demokrasi Indonesia ke arah yang lebih inklusif.
PARADIGMA BARU MAHKAMAH KONSTITUSI
Keputusan ini menandai perubahan sikap MK, yang sebelumnya mendukung aturan ambang batas dalam putusan-putusan serupa. Ketua MK, Suhartoyo, menyebut keputusan kali ini sebagai langkah revolusioner yang mengutamakan kedaulatan rakyat.
“Pemilihan presiden langsung adalah hak rakyat untuk memilih. Tidak boleh ada pembatasan yang tidak konstitusional,” tegasnya.
Dengan presidential threshold yang digugurkan, lanskap Pemilu 2024 dipastikan berubah total. Partai-partai kecil yang selama ini hanya menjadi penonton, pada Pemilu berikut memiliki peluang besar untuk ikut serta. Hal ini diyakini akan meningkatkan dinamika politik dan memperkaya pilihan bagi rakyat.
Meski demikian, MK memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang untuk segera merumuskan aturan baru yang lebih demokratis. Salah satu poin pentingnya adalah larangan bagi partai politik yang tidak mengusung calon untuk mengikuti pemilu periode berikutnya.
MENUAI PRO DAN KONTRA
Putusan MK ini menuai beragam reaksi. Para penggugat, termasuk Enika Maya Oktavia dan tiga mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, menyambut baik keputusan tersebut. Mereka menilai ini adalah kemenangan demokrasi.
Namun, dua hakim konstitusi menyampaikan dissenting opinion. Artinya, keputusan ini tidak sepenuhnya tanpa kontroversi. Meski demikian, mayoritas hakim menilai, dalil para pemohon beralasan secara hukum.
Putusan ini tidak hanya mengubah aturan main politik, tetapi juga memberi harapan baru bagi rakyat Indonesia. Kini, kedaulatan rakyat benar-benar berada di tangan rakyat.
Dengan penghapusan presidential threshold, Pemilu 2029, diharapkan akan menjadi ajang kompetisi ide dan gagasan yang sesungguhnya, tanpa didominasi oleh kekuatan besar partai politik.
Rakyat, kini, adalah pemegang kendali penuh demokrasi, sebagai implementasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan