PALU, KAIDAH.ID – Isu konflik agraria di Sulawesi Tengah (Sulteng) masih menjadi persoalan serius. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mencatat, sepanjang periode terakhir, puluhan pengaduan terkait konflik agraria diterima dari berbagai wilayah di provinsi ini. Mayoritas aduan justru melibatkan pihak korporasi sebagai pihak teradu.
Hal itu disampaikan langsung oleh Komisioner Komnas HAM RI, Saurlin Siagian, saat membuka lokakarya penyusunan Peta Jalan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Agraria, Kamis, 17 April 2025 di ruang Polibu, Kantor Gubernur Sulteng.
Ia menyebutkan, data pengaduan di Komnas HAM terkait isu agraria berdasarkan kategori korban terdiri dari individu sebanyak 8 pengaduan, kelompok masyarakat 34, masyarakat adat 2, serta satu pengaduan tanpa keterangan korban. Sementara pihak yang diadukan atau teradu di antaranya pemerintah pusat melalui kementerian sebanyak 5 pengaduan, pemerintah daerah 6 pengaduan, Polri 3 pengaduan, korporasi 29 pengaduan, BUMN/BUMD 1 pengaduan, dan satu tanpa keterangan.
Dari sisi wilayah sebaran, Kabupaten Morowali Utara tercatat sebagai daerah dengan kasus konflik agraria terbanyak yakni 14 kasus, disusul Morowali 9 kasus, Poso 6 kasus, Banggai dan Palu masing-masing 5 kasus, Buol 4 kasus, serta Donggala 2 kasus.
Komnas HAM juga merinci, jenis aduan paling banyak berkaitan dengan persoalan lahan dan tanah sebanyak 24 kasus. Selanjutnya isu perkebunan 9 kasus, pertambangan 7 kasus, kehutanan 2 kasus, infrastruktur 2 kasus, dan pesisir 1 kasus.
Dari sisi klasifikasi hak, mayoritas pengaduan terkait hak atas kesejahteraan dengan jumlah 40 kasus. Sisanya, masing-masing satu kasus terkait hak atas rasa aman, hak memperoleh keadilan, serta satu pengaduan tanpa keterangan.

Dalam kesempatan itu, Saurlin turut memaparkan hasil kajian Komnas HAM tentang delapan pola konflik agraria yang selama ini terjadi. Pola-pola tersebut antara lain menyangkut sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, pesisir dan pulau-pulau kecil, keterlibatan BUMN/BUMD, TNI/Polri, pelaksanaan proyek strategis nasional, serta konflik di daerah istimewa.
“Konflik agraria ini tidak bisa diselesaikan secara sektoral. Perlu pengakuan atas kesalahan masa lalu, baik regulasi maupun penetapan batas-batas kawasan hutan dan tanah negara yang selama ini tumpang tindih,” ujar Saurlin.
Sebagai catatan penutup, Komnas HAM mendorong agar pemerintah pusat dan daerah melakukan percepatan integrasi satu peta, penyusunan data konflik agraria yang valid dan menyeluruh, serta menyusun langkah pemulihan hak-hak korban secara komprehensif.
“Diperlukan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga agar penyelesaian konflik agraria bisa berkeadilan dan tidak terus mewariskan ketidakpastian hukum bagi warga di sekitar wilayah konflik,” tandasnya.
Lokakarya ini dihadiri perwakilan pemerintah daerah, kepolisian, perusahaan swasta, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil yang selama ini aktif dalam advokasi agraria di Sulawesi Tengah.
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan