Tahun 1994, para pemuka adat dan masyarakat Desa Lore Lindu, Sulawesi Tengah, ramai-ramai ke Jakarta, menyuarakan penolakan terhadap rencana pembangunan waduk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Palu-3. Negara takluk pada kehendak rakyat, PLTA Lore Lindu batal dibangun
PALU, KAIDAH.ID – Para aktivis di Palu, Sulawesi Tengah, yang tergabung dalam WhatsApp Group Aktivis Toea Bercanda, berencana menggelar napak tilas To Lindu Menolak Pindah. Acara itu dimulai pada 12 Juni 2021, dimulai dari Desa Sadaunta sampai kembali lagi ke Kota Palu.
To Lindu Menolak Pindah itu bukan tanpa makna. Tetapi kalimat itu punya sejarah perlawanan. Kalimat itu menyimpan kisah heroik orang Lindu, yang berjuang menolak megaproyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Lore Lindu, tahun 1989 – 1996.
Pemerintah Orde Baru ketika itu, hendak membangun PLTA Palu-3 dengan kapasitas 76 megawatt. Sejatinya, rencana operasional tahap pertama sumber setrum itu di tahun 1999. PLTA Palu-3 dibangun, air dari Danau Lindu akan dibendung, ketinggian air akan naik sekiar 2 meter, atau 6 kilo meter lebih besar daripada genangan alami.
Tetapi, pada saat air pasang maka genangan air dari waduk itu bisa mencapai hingga 58 kilometer persegi. Otomatis, pada saat itu sejumlah desa di kawasan Lore Lindu akan tergenang. Jadilah Lore Lindu sebagai Kedung Ombo kedua.
Warga setempat harus pindah jika tak mau rumah, sawah, kebun dan kampung mereka teggelam. Pemerintah berencana, merelokasi warga ke Lalundu.
Masyarakat yang sejak nenek moyang mereka telah mendiami kampung-kampung di sekitar Lore Lindu resah. Mereka keberatan. Mereka tidak tenang, karena adanya ancaman itu. Orang Lindu bersepakat, menolak pindah.
Yayasan Palu Hijau ketika itu, menjadi tempat mengadu orang lindu atau To Lindu. Mereka setuju menyerahkan urusan itu kepada LSM tersebut. Natsir Abbas, dosen Universitas Tadulako adalah komandan LSM yang bermarkas di Jalan Slamet Riyadi itu.
Yayasan Tanah Merdeka (YTM) juga ikut menyokong To Lindu. Ada Arianto Sangadji di yayasan itu. Baku ancam antara LSM dan pemerintah tak pernah henti.
Protes warga dan LSM (Yayasan Palu Hijau dan Yayasan Tanah Merdeka) itu bukan tanpa alasan. Lore Lindu itu bagian dari taman nasional. jika berkegiatan di dalam kawasan taman nasional, jelas itu akan mengganggu keutuhan zona inti taman nasional. Itu melanggar Undang-Undang.
Syafruddin Lamadjido, kepala PLN Cabang Palu ketika itu pasang badan. Dia menilai, protes para aktivis LSM itu tidak masuk akal dan sangat berlebihan. Apalagi studi AMDAL ketika itu belum juga selesai.
Masyarakat dan para aktivis tak putus asa. Mereka tak henti berjuang. Koran Sinar Nomor 51, 19 September 1994, menerbitkan sebuah tulisan di headline halaman Nusantara, dengan judul “Proyek PLTA: Ketidakjelasan Danau Lindu”.
Koran Sinar mengabarkan, para pemuka adat dan masyarakat Desa Lore Lindu, Sulawesi Tengah, ramai-ramai ke Jakarta menyuarakan penolakan terhadap rencana pembangunan waduk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Palu-3.
Mereka tak sekadar menyambangi PLN Pusat, tapi juga menyatroni kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Komnas HAM, dan Komisi X DPR-RI.
Warga Desa Lore Lindu menentang proyek listrik dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, karena merusak budaya dan adat istiadat setempat. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melihat pembangunan waduk ini merusak lingkungan di sekitar danau.
Menteri Negara Lingkungan Hidup ketika itu, Ir. Sarwono Kusumaatmadja, justru menegaskan, tidak ada rencana pembangunan PLTA di kawasan Lore Lindu pada Pelita VI dan VII. Kegiatan PLN di kawasan itu hanya untuk survei pendataan potensi pembangkit tenaga listrik.
Sejarah panjang perlawanan Orang Lindu itu, didokumentasikan oleh Arianto Sangadji, dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Yayasan Tanah Merdeka, ED Walhi, Pustaka Pelajar Tahun 2000. Buku itu berjudul, “PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah”.
Negara takluk pada kehendak rakyat. PLTA Palu-3 atau PLTA Lore Lindu batal dibangun. Kini, para aktivis hendak mengingat kisah-kisah heroik itu. Beberapa aktivis “Toea” kemudian menginisiasi sebuah acara bernama Napak Tilas To Lindu Menolak Pindah. Tercatat, ada 87 orang yang telah mendaftar sebagai peserta.
Para aktivis “Toea” itu akan berangkat dari Palu menuju Sadaunta. Kemudian mulai berjalan kaki menuju Desa Tomado, bermalam dan diskusi di desa itu, bersilaturahmi di Desa Anca, mampir di Desa Langko dan kembali lagi ke Desa Sadaunta, selanjutnya ke Palu. (ochan)
Tinggalkan Balasan