“Untung kita ketemu dan ente ingatkan saya,” sambung Al Habib.

Ternyata Al Habib lupa, kalau beliau pernah berjanji akan menikahkan saya sehingga Al Habib menerima undangan jamuan makan di villa  Bupati Sahabuddin Labadjo di Desa Enu. Waktunya sama, Ba’da Jumat.

Setelah pesan Al Habib disampaikan kepada Ustadz Anshar, niatpun akhirnya berubah. Ustadz Anshar akhirnya ikut bersama Al Habib Saggaf ke akad nikah saya.

“Saya juga ikut Habib ke akad nikah ente,” kata Ustadz Anshar ketika itu. Bahagia sekali rasanya.

Keteguhan Habib memegang janji, sesuatu yang langka kita temui di zaman ini. Al Habib Saggaf rela membatalkan undangan seorang pembesar negeri (Bupati), demi menepati janjinya yang sudah lebih awal disampaikan. Padahal, itu hanya janji kepada seorang jurnalis, yang notabene bawahannya di Tabloid MAL (sekarang Media Alkhairaat). Ketika itu, Al Habib Saggaf adalah Pemimpin Umum Tabloid MAL.

Di mata Al Habib, semua orang dipandang sama. Tak memilih penguasa atau rakyat biasa.  Kami kerap  merasa diperlakukan seperti anak sendiri.

Jumat, 4 Juli 1997, Al Habib bukan sekadar hadir saat memimpin ijab Kabul. Beliau bahkan berdiri tepat di samping saya, seperti orang tua yang mengantar anak kandungnya saat dijemput oleh orang tua mempelai wanita.

Dan saya tak sendiri. Sofyan Bachmid, serta Marwan Mpa  dan  Joko Hariyanto  yang tak lama berselang menikah pula, ikut merasakan kehangatan dan jiwa kebapakan Al Habib Saggaf pada detik-detik peristiwa sakral kami.

Berkah Habib, Alhamdulillah prosesi ijab kabul berbahasa Arab lancar kami lalui.

Terima kasih Habib. Kenangan ini takkan pernah saya lupakan. Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu. Innalillahi wainna ilaihi raji’un. *