JAKARTA, KAIDAH.ID – Mahkamah Konstitusi (MK), telah menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional di pemilu sebelumnya, sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
Putusan ini dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, pada Kamis, 2 Januari 2025, dalam sidang terkait perkara 62/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat. MK menyatakan, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegas Suhartoyo.
RESPON BERAGAM DARI PARTAI POLITIK
Sekjen Partai Golkar, Sarmuji, mengaku terkejut karena sebelumnya MK telah menolak 27 gugatan serupa terkait presidential threshold.
“Keputusan MK sangat mengejutkan, mengingat putusan MK terhadap 27 gugatan sebelumnya selalu menolak,” kata Sarmuji.
Ia menambahkan, selama ini MK dan pembuat undang-undang memiliki pandangan yang sama, bahwa ambang batas diperlukan untuk mendukung sistem presidensial agar berjalan efektif.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid, menyebut putusan ini sebagai kado tahun baru, yang akan menuai berbagai pandangan dan kontroversi.
“Ini kado tahun baru yang akan menuai berbagai pandangan, polemik, dan kontroversi,” ujar Jazilul.
Ia juga menilai, putusan ini merupakan bagian dari open legal policy, yang perlu ditindaklanjuti dalam revisi Undang-Undang Pemilu.
PKB, lanjutnya, akan menyusun langkah-langkah terkait putusan tersebut, sambil menunggu dinamika dari lembaga pembentuk undang-undang.
Putusan MK ini, memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh partai politik peserta pemilu, untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu, keputusan ini juga membuka peluang untuk mengkaji ulang mekanisme pemilihan kepala daerah. Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menyebut, revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada harus merujuk pada semangat putusan MK tersebut.
“Keputusan MK ini bersifat final dan mengikat. Kita harus menghormatinya dan melaksanakannya. Dengan demikian, pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada juga perlu merujuk pada semangat dari putusan ini,” jelas Bima Arya.
Wamendagri menambahkan, perlu ada kajian lebih lanjut terkait mekanisme pemilihan kepala daerah, apakah tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat, atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Putusan ini diperkirakan akan membawa perubahan signifikan pada sistem politik nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan