INI TENTANG OPERASI gratis katarak dan pterigyum. Pagi itu, Sabtu, 14 September 2024, mentari belum sepenuhnya memanjat langit Palu. Namun, ruang pertemuan Rumah Sakit dr. Sindu Trisno sudah dipenuhi ratusan wajah yang menanti harapan.

Mereka datang dengan keluhan yang sama: katarak dan pterygium, penyakit mata yang diam-diam mengambil cahaya dari hidup mereka.

Tapi hari ini berbeda. Hari ini, mereka akan menjalani operasi gratis yang diselenggarakan oleh Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dan ERHA, didukung oleh sejumlah pihak, di antaranya Golden Bakery, Roa Jaga Roa, Yubileum Gereja Katolik, Korem 132/Tadulako, dan Polda Sulteng. Aksi ini dalam rangka memperingati 100 tahun pembaptisan Gereja Katolik di Sulawesi Tengah.

Di antara kerumunan, seorang nenek duduk tenang di sudut ruangan didampingi tujuh anaknya, matanya memandang seolah menantikan keajaiban. Dia adalah Nenek Mahellang, perempuan tangguh yang telah berusia 99 tahun.

Berasal dari Palolo, hidup telah mempertemukannya dengan banyak kisah – namun tak ada yang lebih menyiksa daripada perlahan kehilangan penglihatannya. Katarak yang selama bertahun-tahun menyelimuti mata kirinya, Nenek Mahellang semakin terasing dalam kegelapan.

Pagi itu, Nenek Mahellang menjadi pasien ke-25.211 yang menjalani operasi katarak di seluruh Indonesia oleh HBT dan ERHA.

Meski tidak fasih berbahasa Indonesia, matanya berbicara lebih dari kata-kata, ketika tim medis menyiapkan segala sesuatunya. Rasa cemas? Mungkin. Tapi ada harapan lebih besar yang memancar dari senyumnya. Hari ini, dia tak lagi hanya bisa mendengar dunia, tetapi bisa melihatnya kembali.

Putranya, seorang lelaki setengah baya yang setia mendampingi, berdiri di sampingnya di pegangan kursi roda. Dia ikut larut dalam kebahagiaan sang ibu, karena telah menjalani operasi gratis katarak dengan sukses.

“Senang mamaku,” katanya lirih, menirukan kata-kata Nenek Mahellang usai operasi. “Akhirnya mata bagian kirinya bisa melihat lagi dengan terang,” tambahnya.

MICHAEL THE DAN KEBAHAGIAAN YANG TAK TERSEMBUNYI

Di sisi lain di Rumah Sakit dr. Sindhu Trisno, Michael The -atau yang lebih dikenal sebagai Ko Lae – tersenyum lebar.

Pemilik Golden Bakery ini, yang selalu dikenal sebagai sosok dermawan dan peduli, merasa terkejut sekaligus Bahagia, saat mendengar bahwa Nenek Mahellang, di usianya yang hampir satu abad, masih bersemangat untuk menjalani operasi.

“Wow… astaga,” gumamnya kagum, “nenek itu yang paling tua dari semua pasien.” Michael The, yang berdiri di balik penyelenggaraan operasi gratis ini, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya.

Aksi sosial, bukan hal baru bagi Ko Lae. Sudah berkali-kali ia melibatkan diri dalam berbagai kegiatan kemanusiaan, selalu memastikan bahwa mereka yang membutuhkan mendapat bantuan, tanpa pamrih.

Namun, hari ini terasa istimewa baginya. Nenek Mahellang telah mengajarkan satu pelajaran berharga: harapan tak pernah pudar, bahkan di usia senja.

ARUJI DAN PECAHAN SERATUS RIBU

Masih di tempat yang sama, seorang pria berusia 71 tahun bernama Aruji, juga baru usai menjalani operasi. Petani dari Desa Sambo, Dolo Selatan, Kabupaten Sigi ini, sudah lama mengeluh tidak bisa bekerja di kebunnya, karena kedua matanya tertutup oleh katarak.

“Sudah lama saya pasrah,” katanya pelan kepada Andreas Sofiandi, dokter spesialis mata sekaligus Ketua Himpunan Bersatu Teguh, yang akan menanganinya.

Setelah operasi yang hanya memakan waktu sekitar 7 menit, Aruji tersenyum lega. Ia tak lagi harus mengandalkan orang lain untuk beraktivitas. Pandangannya mulai jernih, dan sinar kebahagiaan kembali memancar dari matanya.

Sambil bercanda, Dokter Andreas menguji penglihatannya Aruji, dengan menunjukkan pecahan uang Rp100 ribu. “Saya baru bisa lihat uang yang baru ini,” kata Aruji, disambut tawa. Dokter Andreas kemudian menyerahkan uang itu kepada Aruji sebagai tanda terima kasih atas keberaniannya.

SEBUAH PERTEMUAN DI BALIK CAHAYA

Tak hanya Nenek Mahellang dan Aruji, ada Rika, seorang perempuan berusia 42 tahun dari Jalan Kelor, Palu Barat. Selama empat tahun terakhir, jarak pandangnya kian berkurang karena katarak.

Hari ini, hidupnya berubah. “Sekarang penglihatan saya sudah lebih bagus lagi,” ucapnya dengan penuh haru di hadapan para uskup dan pastor, yang turut hadir di Youth Center, Palu, sehari setelah operasi, Ahad, 15 September 2024 siang.

Di antara para pasien, Tasman Banto, Pemimpin Redaksi Mercusuar, juga merasakan transformasi yang sama. Awalnya, ia sempat ragu, bahkan berniat mundur dari operasi katarak di mata kanannya.

Ada ketakutan dan kekhawatiran yang menghantui pikirannya. Namun, setelah diyakinkan oleh tim, ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan.

“Astagaaa, ternyata operasinya cepat sekali. Saya hanya rasa ada air yang menetes dari atas ke mata saya, kemudian saya lihat ada cahaya. Eh, dokter langsung bilang: sudah selesai Pak,” kata Tasman terkejut.

Kini, Tasman merasa bersyukur. Pandangannya jauh lebih jelas, dan keesokan harinya, ia sudah bisa kembali nongkrong di warung kopi, bercanda dengan pengunjung lain seolah tak pernah kehilangan penglihatannya.

Di balik layar, Dokter Andreas Sofiandi, yang selama bertahun-tahun berdedikasi pada pengobatan katarak, merasakan kebanggaan tersendiri.

Selama ini, HBT telah berhasil membantu lebih dari 25.300 orang di seluruh Indonesia. “Palu menjadi kota kedua di Sulawesi Tengah bagi HBT, untuk operasi katarak,” jelasnya.

Dokter Andreas mengungkapkan, meskipun katarak adalah masalah umum di Indonesia, banyak orang yang pasrah menerima kebutaan, karena menganggapnya sebagai hal wajar seiring bertambahnya usia. Padahal, katarak ini bisa diatasi dengan operasi sederhana.

“Kami berterima kasih kepada Pak Lae (Michael The), yang telah mengundang kami ke Palu, untuk melakukan operasi gratis ini. Katarak bukanlah akhir dari penglihatan seseorang,” tambahnya.

HARAPAN YANG MENYALA

Operasi gratis katarak yang dilaksanakan di Rumah Sakit dr. Sindhu Trisno, tidak hanya sekadar aksi sosial; ia adalah simbol kebangkitan harapan bagi ratusan orang yang selama ini terjebak dalam kegelapan.

Setiap pasien yang berjalan keluar dari ruang operasi, membawa cerita baru – cerita tentang bagaimana satu tindakan kecil bisa mengubah hidup mereka.

Seperti Nenek Mahellang, yang di usia 99 tahun kembali merasakan cahaya di mata kirinya. Seperti Aruji, yang kini bisa kembali bekerja di kebunnya. Seperti Rika, yang sudah bisa melihat masa depannya dengan lebih jelas. Semua ini, adalah bukti bahwa harapan selalu ada, selama ada yang peduli.

Ketika mata-mata yang dulunya tertutup kegelapan, mulai melihat cahaya lagi, satu pesan tersampaikan: tak ada yang lebih indah daripada memberi cahaya baru bagi mereka yang telah kehilangan. (*)

Ruslan Sangadji