Dipersembahkan untuk mereka yang baru saja dilantik, serta mereka yang tengah berjuang meraih kekuasaan dalam Pilkada Gubernur dan Bupati di seluruh Indonesia. Semoga bermanfaat.

Oleh: Muhd Nur Sangadji

HARI-HARI INI, banyak pelantikan berlangsung di Tanah Air – anggota dewan di seluruh Indonesia, dari pusat hingga daerah, dan para pejabat eksekutif, mulai dari gubernur hingga bupati. Hampir semua posisi digantikan sementara oleh pejabat, hingga Pilkada usai. Puncaknya adalah pelantikan presiden, wakil presiden, para menteri, kepala badan, utusan khusus dan penasihat presiden.

Pelantikan bukan hanya sekadar seremoni. Ia adalah momen pengikraran janji untuk menerima amanah. Amanah berarti kepercayaan, dan tidak sembarang orang mampu memikulnya. Hanya mereka yang bisa dipercaya, yang berhak menerima amanah ini. Sebab kepemimpinan, yang merupakan amanah, kelak akan dimintai pertanggungjawaban – bukan hanya di dunia, tapi hingga akhirat.

Oleh karena itu, pelantikan tidak boleh dipandang sebagai acara kebanggaan semata. Ia adalah penyerahan tugas atau mandat yang harus dijalankan dengan tanggung jawab. Dimulai saat pelantikan dan berakhir sesuai periode yang ditetapkan. Keberhasilan atau kegagalan akan diukur dari tindakan nyata selama masa amanah itu dijalankan.


Saya memulai penulisan artikel ini di pesawat Garuda yang terbang dari Jakarta menuju Madinah, beberapa jam sebelum mendarat. Sisanya, saya lanjutkan di dekat lokasi sejarah tempat Sayidina Abu Bakar As Siddiq dilantik sebagai pemimpin umat, tepatnya di Taman Safiqah Bani Saidah, tak jauh dari Masjid Nabawi. Di tempat inilah beliau mengucapkan sumpah pelantikannya.

Sejarah mencatat kalimat luar biasa yang beliau sampaikan saat itu: “Wahai manusia, aku telah diangkat sebagai pemimpin atas kalian, namun aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku membuat kebijakan yang baik, dukunglah aku. Namun jika aku bersikap buruk atau melanggar aturan, luruskanlah aku.”

Pernyataan serupa juga terjadi saat pelantikan Umar bin Khattab. Seorang laki-laki Badui berdiri dengan pedang terhunus, lalu berseru: “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau menyimpang, maka pedang inilah yang akan meluruskanmu!”

Bayangkanlah suasana saat itu—sebuah pelantikan yang sangat sakral, seorang pemimpin baru menerima peringatan keras. Tapi Khalifah Umar, dengan kerendahan hati, mengangkat tangannya sambil tersenyum dan mengucapkan syukur, “Alhamdulillah, masih ada umat yang berani mengingatkan jika aku keliru.”


Tradisi demokrasi seperti ini, dilanjutkan oleh para khalifah setelahnya. Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang adil, tegas, dan amanah, namun tetap sederhana meskipun memegang kekuasaan yang besar. Beliau selalu murah hati dan ringan tangan dalam membantu orang lain—sikap yang sangat dibutuhkan oleh pemimpin masa kini.

Salah satu kisah yang sangat terkenal tentang Umar adalah saat beliau bertemu dengan seorang ibu yang memasak batu untuk menghibur anak-anaknya yang kelaparan.

Mendengar itu, Umar segera turun tangan, memikul gandum sendiri dan membawanya ke rumah ibu tersebut. Ini adalah contoh kepemimpinan yang turun langsung ke rakyat (turba) untuk mengentaskan kemiskinan.

Tradisi kepemimpinan seperti ini juga dilanjutkan oleh cucu Umar, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Usai dilantik sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz yang kelelahan beristirahat. Namun, anaknya membangunkannya dengan kalimat yang penuh energi:

“Wahai Ayah, engkau baru saja dilantik dan belum menjalankan amanahmu sama sekali. Mengapa engkau tidur? Siapa yang bisa menjamin engkau akan bangun lagi setelah tidur, sedangkan amanahmu belum dimulai?”

Kata-kata anaknya itu langsung membangkitkan semangat Umar bin Abdul Aziz. Ia segera bangkit dan mulai menjalankan tugasnya. Sejarah mencatat bahwa dalam waktu 2,5 tahun kepemimpinannya, beliau berhasil membawa kemakmuran luar biasa bagi rakyatnya. Kunci dari kesuksesan itu adalah keteladanan—satunya kata dengan perbuatan.

Semoga jiwa pemimpin seperti ini hadir di antara para pemimpin kontemporer yang baru saja dilantik di Indonesia.

Wallahu a’lam bishawab.

Editor: Ruslan Sangadji