PALU, KAIDAH.ID – Sulawesi Tengah memiliki potensi besar dalam sektor pertanian, khususnya komoditas kakao, meskipun saat ini sektor ini hanya menyumbang 2,26% terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan III tahun 2024.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Tengah, Bonny Rahardi Putra, menyatakan pengembangan komoditas kakao sangat penting, untuk meningkatkan perekonomian daerah. Hal ini disampaikan dalam dialog prospek ekonomi Sulteng 2025 yang diadakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Palu, Senin, 13 Januari 2025 di Sriti Convention Hall.

Bonny menjelaskan, kakao, sebagai bahan utama industri cokelat, memiliki permintaan global yang terus meningkat. Sayangnya, ketersediaan bahan baku kakao yang memenuhi spesifikasi di dalam negeri masih terbatas, sehingga Indonesia masih harus mengimpor dari negara seperti Ekuador, Pantai Gading, dan Nigeria.

“Kelangkaan pasokan kakao global akibat gagal panen di Afrika, telah memicu kenaikan harga, membuka peluang bagi petani lokal untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan melalui fermentasi biji kakao,” ujarnya.

POTENSI DAN TANTANGAN POTENSI KAKAO DI SULAMPAPUA

Tren produksi kakao di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) mengalami penurunan 27,12% dalam 16 tahun terakhir. Meski demikian, permintaan global yang tinggi dan kenaikan harga, menciptakan momentum untuk menghidupkan kembali sektor ini.

Sulawesi Tengah mencatat produksi tertinggi di Sulampua dengan 130,80 ribu ton, diikuti oleh Sulawesi Tenggara (107,80 ribu ton), Sulawesi Selatan (82,50 ribu ton), dan Sulawesi Barat (66,20 ribu ton).

Dengan luas lahan mencapai 274 ribu hektar, Sulawesi Tengah memiliki potensi besar untuk meningkatkan produksi kakao. Namun, tantangan seperti penurunan produktivitas, keterbatasan teknologi, kualitas yang tidak konsisten, ketidakpastian harga pasar, dan minimnya regenerasi petani harus segera diatasi.

STRATEGI PENGEMBANGAN EKOSISTEM KAKAO

OJK Sulawesi Tengah menawarkan beberapa strategi, untuk memperkuat ekosistem kakao, antara lain:

  • Rehabilitasi dan Peremajaan Perkebunan: Melakukan revitalisasi lahan untuk meningkatkan produktivitas.
  • Pelatihan dan Pendampingan: Memberikan pelatihan teknik budidaya modern dan pendampingan berkelanjutan kepada petani.
  • Skema Pembiayaan Mikro: Mengembangkan pembiayaan berbasis kelompok tani atau koperasi.
  • Edukasi Keuangan: Memberikan literasi keuangan kepada petani dan pemuda tani.
  • Peningkatan Fasilitas Lokal: Membangun fasilitas fermentasi dan pengeringan standar di tingkat kelompok tani.
  • Diversifikasi Produk: Memanfaatkan hasil kakao untuk menciptakan produk turunan bernilai tinggi.

Untuk mendukung ekosistem ini, diperlukan kolaborasi antara Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD), lembaga jasa keuangan (LJK), dan pelaku industri. Skema pembiayaan berbasis hasil panen dengan grace period dinilai efektif untuk meringankan beban petani.

Bonny menyatakan, pentingnya regenerasi petani melalui program nasional, yang fokus pada pemuda tani. Program ini meliputi pelatihan, akses lahan dengan biaya terjangkau, serta dukungan pendanaan.

“Keterlibatan generasi muda dalam sektor pertanian, menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan industri kakao di masa depan,” tandasnya. (*)

Penulis: Moch. Subarkah