JAKARTA, KAIDAH.ID – Isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal menghantam Lembaga Penyiaran Publik TVRI dan RRI. Isu ini mencuat setelah banyaknya presenter, reporter, tenaga ahli, serta pegawai kontrak, outsourcing, dan kontributor yang diberhentikan. Kebijakan ini diduga sebagai dampak dari pemangkasan anggaran pemerintah terhadap kementerian dan lembaga negara.
Presiden Federasi Serikat Pekerja ASPEK Indonesia, Abdul Gofur, mengaku kecewa dengan keputusan manajemen TVRI dan RRI, yang memberhentikan para pegawai kontrak dan kontributor. Menurutnya, mereka telah lama mengabdi dengan gaji kecil demi kemajuan kedua lembaga penyiaran tersebut.
“Yang lebih parah, PHK dilakukan hanya melalui pesan WhatsApp, seperti surat edaran Direktur Utama RRI kepada kepala satuan kerja di seluruh Indonesia yang beredar di aplikasi tersebut,” ungkap Gofur.
Ia menilai, manajemen seharusnya mencari solusi lain sebelum memutuskan PHK massal. Keputusan ini tidak hanya berdampak pada pegawai, tetapi juga keluarga mereka yang bergantung pada penghasilan tersebut.
“Jika benar PHK ini terjadi akibat pemangkasan anggaran besar-besaran untuk menutupi defisit negara, seharusnya efisiensi dilakukan dengan cara lain. Misalnya, mengurangi gaji dan fasilitas pejabat negara, memangkas perjalanan dinas, atau mengambil kembali uang negara dari para koruptor,” tegasnya.
Gofur meminta Presiden turun tangan, agar pegawai yang terkena PHK bisa kembali bekerja dan menafkahi keluarga mereka.
KOALISI JURNALIS: PEMANGKASAN ANGGARAN RUGIKAN JURNALIS
Sementara itu, organisasi pers yang tergabung dalam Rumah Jurnalis Palu, menyoroti pemecatan 15 kontributor TVRI Sulawesi Tengah (Sulteng). Kebijakan efisiensi anggaran yang diambil pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, disebut sebagai penyebab utama perampingan ini.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, Agung Sumandjaya, menyayangkan keputusan tersebut. Menurutnya, lembaga penyiaran publik yang bertugas menyediakan informasi bagi masyarakat seharusnya tidak menjadi sasaran pemangkasan anggaran, terutama untuk gaji jurnalis.
“Efisiensi anggaran yang dilakukan untuk membiayai program unggulan Prabowo, seperti makan bergizi gratis (MBG), tidak seharusnya mengorbankan gaji para jurnalis dan pegawai kontrak. Jika orang tua mereka kehilangan penghasilan, bagaimana anak-anak mereka bisa mendapatkan makanan bergizi?” jelasnya.
TVRI DAN RRI KLARIFIKASI ISU PHK
Manajemen TVRI membantah, melakukan PHK massal. Direktur Utama LPP TVRI, Iman Brotoseno, menegaskan karyawan TVRI berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), yang secara hukum tidak bisa di-PHK.
“Mana bisa ASN di-PHK?” katanya kepada jurnalis, Senin, 10 Februari 2025.
Namun, Iman mengakui ada pegawai yang berstatus sebagai kontributor atau honorer. Mereka bekerja secara freelance dengan bayaran berdasarkan jumlah berita yang tayang. Menurutnya, keputusan terkait kontributor diserahkan kepada kebijakan masing-masing TVRI daerah.
“Kontributor bukanlah Pegawai Pendukung Non Pegawai Negeri (PPNPN) dan juga bukan ASN,” jelasnya.
Sementara itu, RRI juga melakukan pengurangan karyawan kontrak di seluruh Indonesia. Bahkan, akun Instagram @RRI_Semarang mengumumkan, pemancar AM 801 Khz dan FM 88,2 Mhz dinonaktifkan sementara, dan pendengar Pro 4 RRI Semarang dialihkan ke kanal streaming RRI Digital mulai 10 Februari 2025.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Ristadi, mengaku telah mendengar isu PHK di TVRI dan RRI, meskipun pihaknya belum menerima laporan detail.
Sementara itu, Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Guruh Dwi Riyanto, menyatakan jika PHK benar terjadi, maka harus dilakukan dengan cara yang sesuai hukum ketenagakerjaan.
“Setiap pekerja yang terkena PHK, harus mendapatkan kompensasi dan hak-haknya sesuai dengan undang-undang,” tutupnya. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan