Oleh: Fransiscus Manurung – Praktisi Hukum/Kuasa Hukum Paslon Beramal

INI TENTANG AMBANG BATAS. Dalam dunia hukum, ada pepatah Belanda yang menyatakan: Het recht hink achter de feiten aan, yang berarti hukum sering kali tertinggal dari kenyataan.

Pepatah ini sangat relevan menggambarkan, bagaimana peraturan perundang-undangan selalu berusaha mengejar perkembangan dan dinamika masyarakat yang bergerak lebih cepat. Hukum sering kali terseok-seok mengikuti perubahan zaman, bahkan terengah-engah dalam menyesuaikan diri.

Tak jarang, norma hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan, diterima dengan baik oleh masyarakat pada awalnya, karena sesuai dengan nilai dan pola pikir yang berkembang saat itu. Namun, seiring berjalannya waktu, norma yang dulu dianggap ideal bisa menjadi kabur, usang, atau bahkan terasa tidak lagi adil.

Sebagai guardian of the constitution (Penjaga Konstitusi), Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya menafsirkan norma undang-undang, tetapi juga norma konstitusi. Dengan karakter ini, putusan MK menjadi salah satu sumber hukum penting, tidak hanya dari amar putusannya, tetapi juga dari tafsir konstitusional yang dihasilkannya.

Salah satu contoh perkembangan dalam praktik hukum adalah, terkait ambang batas pengajuan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Ketika pertama kali ditetapkan dalam Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016, aturan ini mendapat respons positif, karena dianggap mampu menyaring perkara yang masuk ke MK, menghindari perkara “sampah” yang tidak memiliki dasar kuat. Saat itu, pasal ini ibarat tembok tinggi yang sulit dilewati.

Namun, seiring dengan dinamika sosial dan tuntutan masyarakat, MK menyadari, tidak bisa bersikap pasif terhadap penyelenggaraan pemilu yang diwarnai pelanggaran. Jika pelanggaran dibiarkan, hal itu dapat melemahkan negara dan mengancam tegaknya demokrasi.

Oleh karena itu, MK tidak hanya fokus pada aspek kuantitatif seperti selisih suara, tetapi juga memberi perhatian pada aspek kualitatif, terutama jika terjadi pelanggaran yang berpotensi menghambat perkembangan demokrasi.

Lantas, bagaimana sikap terkini MK terhadap ketentuan ambang batas dalam Pasal 158 UU Pilkada?

Pasal tersebut tetap berlaku dan sah, tetapi MK kini tidak lagi secara kaku memberlakukan ambang batas sebagai syarat mutlak dalam proses dismissal. Artinya, pemohon masih bisa melanjutkan permohonannya, asalkan mampu meyakinkan MK dengan alasan yang spesifik dan argumentasi yang kuat. Penyajian yang menarik dan berbobot pun menjadi faktor yang tak bisa diabaikan.

Dengan perkembangan ini, terlihat bahwa hukum memang harus fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan realitas. Sebab, tujuan utama hukum, bukan sekadar menegakkan aturan secara kaku, tetapi juga menjaga keadilan dan memastikan demokrasi tetap berjalan dengan baik. (*)

Editor: Ruslan Sangadji