IDEALISME berpijak pada Pancasila, sebagai titik temu kebangsaan yang telah ditempuh Ferry Mursyidan Baldan semasa hidupnya, menjadi bukti “jalan lurus” kemajuan manusia dan bangsa Indonesia.
Di situlah percikan pikiran politik ketatanegaraan Ferry Mursyidan Baldan.
Idealismenya telah mengkristal menjadi dedikasi, loyalitas, kecerdasan, kesetaraan, dan kepiawaian dirinya, yang terakumulasi ke dalam seni memimpin.
“Misalnya, pada naskah Bang Akbar Tandjung dari Golkar, dan Bang Ahmad Ali dari NasDem,” kata Alfi Rahmadi, tim penulis dan editor buku Ferry Mursyidan Baldan.
Itu adalah buku biografi-Obituari berjudul: Ferry Mursyidan Baldan, Sang Politisi Negarawan.
Menurut Alfi, pada naskah dua tokoh itu (Akbar Tandjung dan Ahmad Ali), karena dari partai keduanya itulah, Ferry secara konstitusional berjuang di lapangan politik praktis.
Pada naskah Akbar Tandjung, katanya, telah menguraikan tentang keberlangsungan suatu organisasi manapun.
Apalagi negara sebagai organisasi terbesar dalam ekosistem berbangsa, tidak perlu ragu kalau ada kader dan pemimpinnya seperti Ferry Mursyidan Baldan.
Pengetahuan, wawasan dan pengalaman mengorganisir memang sangat penting, tetapi belum tentu matang.
Kematangan akan teruji oleh ‘seni memimpin’, karena kehidupan ini selalu ada sesuatu yang nampak dan tidak nampak.
Ferry Mursyidan Baldan (alm) sebagaimana ‘jam terbangnya’ telah menjangkau semua itu.
Ada kematangan emosi mengendali diri; menggerak banyak orang; serta mentransformasi nilai, ide dan gagasan menjadi hadir nyata.
Pada naskah Ahmad Ali, tim penulis menguraikan cara komunikasi, lobi dan negosiasi, persuasi dan penggalangan, akomodasi dan kesetaraan.
Juga tentang, kehangatan pribadi, serta transformasi ide dan aspirasi dalam kehidupan politik, telah menjadi ikon Almarhum yang menonjol, selain ikon ‘politisi muda’.
“Ferry Mursyidan Baldan memang tampak muda, meski sudah berusia 60 tahun, karena tampilan fisik dan keluhuruan akhlaknya,” kata Alfi Rahmadi.
“Dengan semua rekam jejak yang kuat dan panjang itu, kharisma Almarhum memiliki kebijaksanaan,” tambahnya.
Meraih predikat bijaksana, tidak ada sekolah atau organisasi formalnya, melainkan dari berbagai pelajaran terjun ke tengah masyarakat luas.
Juga keseimbangan peran diri pada berbagai dimensi dan bidang kehidupan.
Inilah kenapa, dengan kebijaksanaan itu, terasa Almarhum tidak punya lawan politik.
“Pernah bersebrangan, bukan berarti lawan,” imbuh Alfi.
Alfi Rahmadi menyontohkan, antara lain dalam naskah testimoni Arya Mahendra Sinulingga, staf Khusus Menteri BUMN 2019-2024 ini.
Keduanya pernah satu partai, tapi berseberangan dan berdebat panas, sampai mencuat ke publik.
“Tetapi kami tetap sebagai teman dan bahkan ikut membantu mengenai status lahan-lahan akibat bencana letusan Gunung Sinabung di Tanah Karo,” katanya.
Sebagai mantan jurnalis yang menyaksikan riuhnya perpolitikan Indonesia pasca 1998/1999, Alfi Rahmadi juga menyontohkan jejak ikonik Almarhum memimpin.
Atau juga, katanya, Ferry Mursyidan Baldan terlibat dalam pembahasan dan pengesahan sejumlah RUU sepanjang periode 1999 – 2009, khususnya paket UU bidang politik.
“Sepanjang dua periode itu, dalam naskah Ferry Sang Pejuang Negeri yang saya tulis, tetapi belum sempat termuat pada buku,” ujarnya.
Namun ia bersaksi, bahwa sejumlah legislator lintas fraksi di DPR dan jurnalis, menjuluki Ferry Mursyidan Baldan salah satu legal drafter legislasi terbaik Indonesia pasca 1998.
Ia meretas pengkaplingan bidang, atau ego sektoral setiap Komisi DPR, dan mitra kerja di eksekutif,” paparnya. (*)
Tinggalkan Balasan