Dari aktivitas itulah, kepercayaan diri para eks napiter itu dapat tumbuh kembali. Dari situlah, kata Lukman Thahir, mereka diajak bersama-sama mencari solusi dari setiap masalah mereka setelah keluar dari penjara.
JIka sudah ada saling percaya maka proses saling ketergantungan juga terjadi. Selanjutnya membangun kembali karakter mereka (character building) sehingga mereka menjadi lebih baik.
Negara, kata pengurus Nahdlatul Ulama Sulawesi Tengah itu, harus hadir terhadap napiter. Mereka tidak boleh dikesampingkan atau dipandang sebelah mata, melainkan harus diberdayakan oleh negara.
“Mereka ini warga negara Indonesia yang berhak mendapat hak yang sama di Tanah Air ini. Karena itu, perhatikanlah mereka,” ungkap Lukman Thahir.
Pimpinan Kafilah Perdamaian Poso, Ustadz Hasanuddin berharap, agar ada keterbukaan dari pemerintah dan masyarakat untuk menerima bekas napiter ketika keluar dari penjara.
“Masyarakat bisa menerima eks napi teroris dengan sewajarnya, karena eks napiter juga manusia. Begitu juga pemerintah, harus hadir, pemerintah harus ada, ketika bekas napiter keluar dari penjara,” kata Hasanuddin.
Menurut Hasanuddin, yang paling dibutuhkan oleh eks napiter, pemerintah dapat melibatkan eks napiter dalam kegiatan pembangunan sesuai dengan kemampuan eks napi teroris masing-masing.
Inilah yang oleh Nur Hooda Ismail, direktur Kreasi Prasasti Perdamaian, rehabilitasi dan integrasi para eks napiter itu, harus dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu hand, heart dan head. Negara, selama ini hanya mengurus para eks teroris itu dengan paradigma hand saja.
“Sekadar memberikan bantuan usaha atau semacamnya, tetapi tidak berkelanjutan sampai menyentuh hati dan kepalanya,” kata Noor Huda Ismail.
Padahal seharusnya, setelah memberikan bantuan usaha, para eks napiter ini harus disentuh hatinya, lalu kemudian kembali memberi pemahaman yang benar, agar mereka tidak lagi terlibat dalam aksi-aksi radikal ekstrimis.
Part II
Tinggalkan Balasan