PALU – Sekelompok orang sedang berkumpul di ruangan pertemuan salah satu hotel di Poso. Mereka duduk di kursi bagian depan menghadap ke ratusan siswa Poso. Mereka yang di depan itu adalah para eks narapidana terorisme Poso. Di antaranya adalah Hasanuddin alias Slamet Rahardjo alias Ustadz Hasan.
Hasanuddin bukan orang Poso. Ia datang ke Poso dengan tujuan untuk “berjihad”. Ia diantar oleh Nasir Abbas, salah seorang dedengkot Jamaah Islamiyah yang dipercaya sebagai Ketua Mantiqi III, yang diberikan wilayah operasi di Minadanao, Sabah, Kalimantan Timur dan Sulawesi.
Ustadz Hasanuddin, oleh Nasir Abbas diangkat menjadi Amir Jamaah Islamiyaah di Poso, yang juga merupakan proposal mendirikan Mantiqi IV dengan wilayah operasi di Sulawesi. Hasanuddin oleh Nasir Abbas dikenal sangat pemberani dan termasuk salah seorang “jihadis” yang cerdas. Buktinya, sesampainya di Poso, tahun 2005 ia langsung beraksi dengan memutilasi lima orang siswi SMU Kristen.
Hasanuddin ditangkap karena kasus itu. Dalam persidangan, Hasanuddin dihukum penjara selama 20 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Poso. Selama di penjara itu, Hasanuddin menunjukkan kelakuan baik. Ia menyesali semua perbuatannya itu.
“Saya yang bertanggung jawab terhadap mutilasi pembunuhan tiga siswi SMU Kristen Poso,”kata Hasanuddin.
Ia juga mengajak sesama kelompoknya dan kelompok lainnya di Poso dan seluruh Indonesia, untuk memikirkan kondisi Poso agar menjadi lebih baik dan bersikap lebih bijaksana
“Cukuplah saya yang terakhir melakukan itu. Saya mohon maaf kepada keluarga korban dan saya sadar ini melanggar hukum. Kami menyesali dan bertanggung jawab,” kata Ustadz Hasanuddin.
Lantaran berkelakuan baik itulah, Hasanuddin mendapatkan pemotongan masa tahanan. Ia hanya menjalaninya selama 12 tahun dan baru bebas pada 2018 lalu. Selama di dalam penjara, Hasanuddin berkenalan dengan Lukman Thahir yang saat itu sebagai Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Alkhairaat yang berpusat di Palu.
Pertemuan itu bukan tanpa sengaja, tetapi memang karena Doktor jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu sedang melakukan penelitian tentang terorisme Poso.
Ia tidak hanya bertemu dengan Hasanuddin, tetapi juga Amril Ngiode alias Aat alias Memet alias Ujang, pelaku peledakan bom Tentena, Poso pada 2005 silam. Bertemu pula dengan Ardin alias Rozak, terpidana kasus kasus bom tentena, penembakan Gereja Immanuel dan pencurian toko emas di Palu. Terpidana terorisme lainnya adalah Yudi Parsan alias Yudi yang terlibat dalam kasus penembakan Pendeta Susianti Tinulele. Terpidana terorisme lain yang ditemui Lukman Thahir, adalah Fitrah yang bersama-sama Santoso (mantan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur) mencegat dan merampas mobil box di Poso.
Selama di penjara di Lembaga Pemasyarakatan Palu, Ustadz Hasanuddin bersama terpidana teroris lainnya selalu berdiskusi dengan Lukman Thahir yang saat ini sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Palu. Pertemuan bertahun-tahun itu, berakhir pada pembinaan berkelanjutan terhadap para eks narapidana terorisme itu setelah mereka bebas.
“Saat bebas, Ustadz Hasan dan teman-temannya itu datang kepada saya sebelum pulang ke Poso. Dari situlah saya berpikir bahwa pembinaan harus terus dilanjutkan,” kata Lukman Thahir.
Caravan Warrior of Peace
Enam orang eks narapidana Poso itu, sekarang telah berbaur dengan warga di Poso. Mereka telah berhijrah dari kejahatan kepada penganjur damai. Ustadz Hasanuddin mendeklarasikan diri mereka sebagai Kafilah Pejuang Perdamaian Poso atau yang oleh Lukman Thahir menyebutnya sebagai Caravan Warrior of Peace.
“Tetapi secara keseluruhan, anggota Ustadz Hasanuddin ini berjumlah 104 orang. Mereka semuanya menyatakan menjadi tokoh penganjur damai di Poso,” kata Lukman Thahir.
Menurut dia, hijrahnya para eks narapidana terorisme Poso ini, karena para napiter tidak lagi ingin bersentuhan dengan masa lalunya, serta tidak ingin pusing dengan kehidupan yang ia jalani ke depan.
“Eks napiter itu harus mengurus diri dan keluarganya agar bisa makan dan hidup tenang,” ujarnya.
Selain itu, kata Lukman Thahir, para napiter itu masih ingin terlibat dalam upaya perdamaian. Keterlibatan mereka juga, tidak sekadar obyek perdamaian, tetapi juga harus menjadi subyek perdamaian.
“Selama ini, para eks napiter itu hanya selalu menjadi peserta dalam setiap seminar, diskusi atau workshop tentang perdamaian. Nah, saya mengubah paradigma itu. Para eks napiter itu harus terlibat langsung menjadi pembicara utama untuk mengajak damai,” kata Lukman Thahir.
Meski begitu, kata dia, tetap juga ada eks napiter yang sampai sekarang masih menyimpan dendam terhadap masa lalu dan tetap membawa faham dan ideologi mereka setelah bebas dari penjara.
“Nah, mereka inilah yang tetap ikut berjuang bersama Mujahidin Indonesia Timur atau MIT. Mereka kembali masuk hutan setelah bebas dari penjara,” katanya.
Menanamkan kepercayaan para eks napiter Poso ini agar mau dibina, kata mantan Rektor Universitas Alkhairaat Palu ini, bukanlah perkara mudah. Pun halnya menanamkan kepercayaan kepada masyarakat, bahwa para eks napiter ini sudah berhijrah dan menjadi orang baik.
“Nah, agar publik bisa percaya, para eks napiter ini harus terlibat secara aktif, bukan sekadar menjadi obyek perdamaian saja,” kata Lukman Thahir.
Dari aktivitas itulah, kepercayaan diri para eks napiter itu dapat tumbuh kembali. Dari situlah, kata Lukman Thahir, mereka diajak bersama-sama mencari solusi dari setiap masalah mereka setelah keluar dari penjara.
JIka sudah ada saling percaya maka proses saling ketergantungan juga terjadi. Selanjutnya membangun kembali karakter mereka (character building) sehingga mereka menjadi lebih baik.
Negara, kata pengurus Nahdlatul Ulama Sulawesi Tengah itu, harus hadir terhadap napiter. Mereka tidak boleh dikesampingkan atau dipandang sebelah mata, melainkan harus diberdayakan oleh negara.
“Mereka ini warga negara Indonesia yang berhak mendapat hak yang sama di Tanah Air ini. Karena itu, perhatikanlah mereka,” ungkap Lukman Thahir.
Pimpinan Kafilah Perdamaian Poso, Ustadz Hasanuddin berharap, agar ada keterbukaan dari pemerintah dan masyarakat untuk menerima bekas napiter ketika keluar dari penjara.
“Masyarakat bisa menerima eks napi teroris dengan sewajarnya, karena eks napiter juga manusia. Begitu juga pemerintah, harus hadir, pemerintah harus ada, ketika bekas napiter keluar dari penjara,” kata Hasanuddin.
Menurut Hasanuddin, yang paling dibutuhkan oleh eks napiter, pemerintah dapat melibatkan eks napiter dalam kegiatan pembangunan sesuai dengan kemampuan eks napi teroris masing-masing.
Inilah yang oleh Nur Hooda Ismail, direktur Kreasi Prasasti Perdamaian, rehabilitasi dan integrasi para eks napiter itu, harus dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu hand, heart dan head. Negara, selama ini hanya mengurus para eks teroris itu dengan paradigma hand saja.
“Sekadar memberikan bantuan usaha atau semacamnya, tetapi tidak berkelanjutan sampai menyentuh hati dan kepalanya,” kata Noor Huda Ismail.
Padahal seharusnya, setelah memberikan bantuan usaha, para eks napiter ini harus disentuh hatinya, lalu kemudian kembali memberi pemahaman yang benar, agar mereka tidak lagi terlibat dalam aksi-aksi radikal ekstrimis.
Part II
Tinggalkan Balasan