PALU – Konflik Poso yang berkepanjangan pada tahun 1998 hingga 2000 silam, membuat Arifuddin Lako alias Brur alias Iin beringas. Suatu hari, ia hadir di Pengadilan Negeri Palu, untuk menyaksikan persidangan kawan-kawannya yang terlibat dalam kasus kerusuhan Poso.
Dalam persidangan itu, Brur menyaksikan Ferry Silalahi yang menjadi salah seorang Jaksa Penuntut Umum begitu keras kepada kawan-kawannya para terpidana kasus kerusuhan Poso. Dia dendam karena itu.
Ia pun mempelajari kebiasaan Jaksa Ferry Silalahi setiap hari, sampai akhirnya pada suatu saat ia menemukan jaksa itu sedang mengikuti ibadah di salah satu rumah di Jalan Sawadaya, Palu.
Doorrrr…. Peluru dari pistol milik Brur tepat kena di kepalanya. Jaksa Ferry jatuh bersimbah darah dan tewas.
Pada 2009 Brur menyerahkan diri kepada polisi. Ia menyerahkan diri, karena dorongan keluarganya yang khawatir, karena beberapa temannya yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), tewas karena ditembak polisi.
“Saya disidang dan dijerat Undang-Undang Terorisme (Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), dituntut 17 tahun penjara, tetapi divonis 8 tahun dan 6 bulan. Tapi saya hanya menjalaninya selama 6 tahun 4 bulan di Lembaga Pemasyarakatan Palu,”kata Brur.
Pada 2015 Brur bebas dari penjara. Dia bingung, karena belum punya rencana apa yang akan dilakukannya setelah bebas. Tapi Brur sudah bertekad bahwa ia harus meninggalkan aksi kekerasan dan Poso harus damai. Kembali ke Poso, Brur bertemu dengan para aktivis perdamaian. Ia bergabung dengan Celebes Institute Palu dan Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) di Poso.
Dari perkenalan itulah, Brur akhirnya mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama Rumah Katu pada 2016. Ia memimpin sendiri lembaga itu, tetapi sekretarisnya adalah kawannya beragama Kristen dari Tentena, yang sebelumnya sangat dibencinya.
Enam bulan setelah itu, Brur menggelar Festival Rumah Katu. Di festival itu, mereka menggelar acara musik, tari tradisional hingga pameran foto. Tujuannya untuk kampanye perdamaian. Juga tentang status sosial Brur sebagai mantan napi teroris yang mau reintegrasi maupun kampanye damai.
Brur juga menunjukkan bahwa ia punya prestasi dengan membuat tiga film yang berisi pesan damai. Film itu adalah Senjata Rakitan, 2/3 Malam dan Jalan Pulang. Dua film pertama itu adalah film pendek. Film berjudul 2/3 Malam berhasil meraih juara pertama lomba video pendek yang digelar Tempo Institute. Sementara film Jalan Pulang merupakan film panjang, berdurasi sekira 40 menit dan menang pada lomba film perdamaian di Polda Sulawesi Tengah. Hingga kini Brur tetap konsisten menyuarakan perdamaian di Poso. Dia sempat menjadi asisten peneliti lapangan dari Kreasi Prasasti Perdamaian yang dipimpin Noor Huda Ismail, meski akhirnya mundur, tetapi beberapa kali ia terlibat langsung dalam diskusi warga bersama lembaga itu.
Di Kreasi Prasasti Perdamaian, Brur bertemu dengan Nurshadrina Khaira Dhania, gadis yang sempat menyeberang ke Suriah bersama keluarganya, karena teriming-iming propaganda kelompok radikal ISIS.
Dari obrolan dengan Dhania itulah, Brur jadi paham bahwa apa yang dipropagandakan ISIS lewat berbagai cara, terutama sosial media, itu tidak benar. Dari kisah Dhania itulah, Brur meneruskannya kepada kawan-kawannya di Poso, bahwa terjadi semua propaganda ISIS itu adalah kebohongan.
“Untuk generasi muda di Poso, jangan terpancing dengan propaganda ISIS. Ternyata semua iming-iming ISIS itu adalah bohong,” tegas Brur.
“Konflik itu sangat merugikan, menghancurkan. Terjadi kerusuhan, orang dibunuh. Efeknya sampai panjang, trauma masih ada. Makanya, cukuplah kita yang merasakan konflik itu, orang lain tidak usah. Sekarang saatnya kita ciptakan perdamaian di Tanah Poso dan di seluruh dunia,”kata Arifuddin Lako alis Brur.
***
Tinggalkan Balasan