JAKARTA, KAIDAH.ID – Setelah resmi bergabung dengan Aliansi BRICS (Brasil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan), Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, merekomendasikan agar Indonesia mengambil peran aktif, dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor strategis.
Bhima Yudhistira menyarankan, agar fokus diarahkan pada investasi dan pembangunan infrastruktur, yang dapat memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang.
Selain itu, Indonesia juga diharapkan dapat memimpin inisiatif, untuk mengarahkan investasi pada proyek-proyek yang memperkuat kemandirian ekonomi negara anggota BRICS.
Salah satu sektor yang dinilai strategis adalah investasi hijau atau green investment. Bhima menekankan pentingnya mendorong kerja sama dalam pengembangan pasar modal yang ramah lingkungan.
Hal ini dianggap relevan dengan kebutuhan negara-negara berkembang di belahan bumi selatan (Global South), yang masih didominasi oleh investasi di sektor ekstraktif.
“BRICS diharapkan mampu menyoroti potensi kerja sama dalam green investment untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (green growth) dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Bhima.
pemerintah Indonesia, juga kata dia, perlu memanfaatkan keanggotaan di BRICS, untuk mendorong kerja sama yang lebih luas, bukan hanya dengan China.
“Jangan hanya melihat BRICS sebagai agenda China semata. Ada peluang besar untuk mempererat hubungan dengan Brasil dalam pengembangan ekonomi restoratif, serta dengan Afrika Selatan terkait transisi energi bersih,” jelasnya dalam keterangan pers, Rabu, 8 Januari 2025.
Bhima menyampaikan itu, menyusul resminya Indonesia menjadi anggota penuh aliansi BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Dia bilang, keanggotaan ini dianggap sebagai peluang strategis, untuk memperkuat hubungan tidak hanya dengan China, tetapi juga dengan Brasil, Afrika Selatan, dan negara-negara Timur Tengah.
Bhima mengingatkan risiko jika Indonesia terlalu condong ke China. Ia menilai, fokus yang berlebihan pada hubungan dengan China, justru akan mengurangi manfaat strategis dari keanggotaan di BRICS.
“Hubungan ekonomi dengan China sudah sangat dominan. Jika terlalu pro-China, keanggotaan ini hanya akan mereplikasi hubungan yang sudah ada tanpa memberikan keuntungan tambahan bagi Indonesia,” tegas Bhima.
Di sisi lain, BRICS juga menghadapi tantangan ekonomi global. Proyeksi perlambatan ekonomi China, terutama setelah terpilihnya kembali Donald Trump yang mendorong kebijakan proteksionisme dagang, menjadi salah satu faktor yang perlu diantisipasi. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan