To Kaili (orang Kaili — etnis asli Lembah Palu) yang bermukim di pesisir Teluk Palu, merupakan komunitas yang telah terbiasa menghadapi bencana alam.
Memperhatikan struktur geografis hunian komunitas Suku Kaili yang berada di pesisir, maka beberapa penamaan atau penyebutan wilayah, seringkali didasarkan atas beberapa peristiwa bencana alam yang telah dirasakan dan pernah terjadi di masa lampau, penamaan atau penyebutan ini di sebut dengan “To Po Nimi“.
To Po Nimi akan dapat ditemui misalnya pada beberapa penamaan wilayah hunian seperti “Kaombona” (tanah runtuh), satu wilayah yang berada di timur Teluk Palu dengan kondisi area perbukitan.
“Kaombona” dalam tutura (bertutur) adalah bekas tanah yang mengalami “runtuh” karena adanya “lingu mbaso” (gempa besar) tahun 1930. Saat ini wilayah “Kaombona” sudah menjadi wilayah hunian yang ramai dan masuk dalam teritori adminstrasi Kelurahan Talise.
Penamaan kampung seperti Birobuli, Biromaru, Jono Oge, Sibalaya merupakan hunian yang dulunya merupakan rawa, banyak ditumbuhi sejenis tumbuhan liar yang populer disebut alang-alang atau daun silar, Biromaru, Jono dan Sibalaya dalam Bahasa Kaili berarti alang-alang atau silar.
Balaroa adalah hunian masyarakat, yang dulunya residensinya hanya berada di pusat kampung di kaki bukit pegunungan Kambuno, seiring berkembangnya wilayah hunian maka di sisi Timur kampung Balaroa dibangun hunian baru (Perumnas) yang menurut tutura para “totua nungata” (Tokoh Masyarakat) dulunya di tempat hunian baru tersebut adalah ladang dan tempat beternak hewan bagi para bangsawan.
Di tempat tersebut, terdapat satu kubangan seperti sumur besar yang diyakini terhubung dengan laut Teluk Palu, karena menurut peristiwa yang terjadi jika air laut pasang akan terdengar suara gelombang air laut dan ketinggian air laut sedang pasang ikut naik pada kubangan tersebut. Bahkan ada kisah ketika seekor sapi bangsawan yang diternak di tempat tersebut hilang, akhirnya ditemukan berada di laut Teluk Palu.
Pada To Kaili, penuturan peristiwa bencana alam juga lazim dituturkan melalui Kayori, Dulua, dan Dade Ndate yaitu sastra lisan melalui proses penyampaian cerita dengan cara bertutur (tutura) yang diiringi dengan penggunaan serangkaian alat musik seperti kecapi, gimba dan gong serta alat musik lainnya.
Kayori merupakan cara pendahulu menyanyikan sesuatu untuk mengingatkan generasi keturunannya, bahwa terdapat peristiwa masa lalu menjadi pengingat untuk kehidupan masa sekarang. Kayori sesungguhnya adalah cara bertutur dengan syair-syair yang disampaikan sebagai rasa cinta dan pemujaan akan keagungan pada Pue Langi “To Manuru“.
Kayori juga berisi petuah hidup yang baik untuk dijalani. Salah satu Kayori terkenal dalam bentuk pepatah To Kaili yang sangat terkenal yaitu “Agina Mainga, Ne Maonga”, dimana artinya adalah “lebih baik berhati-hati daripada tenggelam”.
Kearifan kokal tentang mitigasi bencana, pada To Kaili tampil dalam berbagai bentuk pemaknaan, misalnya jika binatang yang kesehariannya dekat dengan kehidupan manusia mulai memperlihatkan pola tabiat yang berubah, mulai dari isyarat suara burung, kokok ayam dan menghilangnya kucing di sekitar hunian tempat tinggal.
Teknologi pembuatan rumah pada To Kaili juga berbasis pada tindak mitigasi bencana alam, To Kaili membuat rumah panggung yang tiang penyangga masing-masing akan dilapisi dengan alas batu agar rumah terjaga keseimbangannya. Bahkan ketika rumah akan dibangun, kekuatan tanah akan diukur dengan cara menusukkan lidi atau parang ke dalam tanah secara berulang agar diketahui kekekuatan tanah yang digunakan untuk menyangga bangunan rumah.
Pada masa lampau ketika tanda-tanda alam sudah memberi isyarat akan terjadi gempa besar, maka oleh “to tua nungata” (Orang Tua yang menjadi kepala kampung), masyarakat diperintah untuk membuat semacam alat pengaman badan yang berbentuk seperti anak tangga yang digunakan ketika gempa terjadi. Pada alat tersebut masing-masing orang meletakan kepala sebatas leher pada lubang di antara anak tangga sehingga kontrol atas goyangan gempa dapat menjaga keseimbangan badan setiap orang secara bersama.
Kearifan lokal pada To Kaili adalah sebuah reproduksi terhadap tindak mitigasi bencana alam, beberapa testimoni berdasarkan kearifan lokal atas bencana 28 September 2018, dapat menjadi pedoman guna mengurangi resiko bencana yang terjadi
Medio, 23 Januari 2019
NISBAH,
Pengamat Budaya
Tinggalkan Balasan