TULISAN INI saya dedikasikan khusus kepada calon Wali Kota Palu dan Gubernur Sulawesi Tengah, sebagai bahan renungan dan tindak lanjut. Semoga bermanfaat.

Saya menulis ini saat perjalanan pulang dari Ambon. Di Bandara Pattimura, saya menyaksikan proses transit yang menghubungkan rute penerbangan ke berbagai wilayah kabupaten di Maluku. Hal yang kini terasa hilang di Bandara Mutiara Sis Al Jufri, Palu. Sayang sekali.

Oleh: Muhd Nur Sangadji

Kenangan Kota Transit yang Dulu Hidup

Tahun 1982, saya tiba di Palu untuk pertama kalinya. Itu berarti sudah 42 tahun berlalu, hampir setengah abad silam. Perjalanan saya waktu itu dimulai dari Ternate, singgah di Manado, lalu menuju Palu via Gorontalo. Maskapai yang saya gunakan adalah Bouraq Airlines.

Sejak dulu, Palu dan Manado sudah terhubung melalui penerbangan. Namun kini, rute tersebut tak lagi ada. Apa yang sebenarnya telah berubah? Apakah karena interkoneksi antara kedua wilayah semakin berkurang? Pertanyaan ini, saya serahkan kepada para pembuat kebijakan transportasi untuk dianalisis.

Saat mulai bermukim di Palu, saya menyadari adanya beberapa rute penerbangan seperti Palu-Makassar dan Palu-Jakarta, meskipun biasanya melalui Balikpapan atau Makassar. Beberapa maskapai seperti Garuda, Merpati, Bouraq, Sriwijaya, Pelita, dan Batavia melayani rute-rute ini. Namun kini, distribusi penerbangan di Sulawesi Tengah semakin menyempit.


Penerbangan Internal yang Kian Hilang

Pada tahun 1970-an, penerbangan di Sulawesi Tengah cukup ramai. Ada rute Palu-Luwuk, Palu-Poso, Palu-Tolitoli, bahkan Palu-Buol. Namun, jalur tersebut mulai memudar seiring waktu. Salah satu peristiwa yang paling dikenang adalah jatuhnya pesawat Twin Otter Merpati di pegunungan Tinombala pada 1977 dalam penerbangan Palu-Tolitoli, yang kemudian diabadikan dalam film “Operasi Tinombala.”

Kini, banyak kabupaten berlomba membangun bandara mereka sendiri, seperti di Ampana, Morowali, dan Banggai Laut. Namun sayangnya, banyak dari bandara-bandara ini ibarat hidup segan mati tak mau, terutama setelah adanya larangan penggunaan dana APBD untuk subsidi penerbangan.

Tidak hanya bandara yang rontok, tetapi juga banyak maskapai yang telah lenyap, termasuk Merpati yang berplat merah. Garuda pun kini tengah kesulitan. Tersisa maskapai penerbangan murah seperti Lion Air Group yang mendominasi.


Penerbangan Murah: Harapan yang Semakin Tipis

Di era penerbangan murah ini, layanan yang dulu diberikan dengan gratis, seperti roti dan air, kini sudah menjadi barang jualan di pesawat. Harga tiket pun tidak turun, bahkan cenderung naik, meski ada kebijakan floor and ceiling price. Ironisnya, harga terendah (floor price) jarang diterapkan, dan yang sebelumnya gratis kini dijual.

Dalam perjalanan saya dari Palu ke Makassar dan kembali ke Luwuk, saya merenungkan: mengapa harus transit di Makassar? Jawabannya sederhana—karena penerbangan langsung dari Palu semakin jarang, bahkan tidak ada. Hal ini juga berlaku untuk rute Palu-Morowali. Bandara-bandara daerah seperti kehilangan fungsinya, kecuali untuk daerah yang ditopang oleh kekayaan tambang berkelas dunia.

Ironisnya, kita tidak mampu mempertahankan Palu sebagai kota transit, meski provinsi ini adalah sumber kekayaan alam yang besar. Sebuah anomali yang sulit dijelaskan jika tidak melalui kebijakan dan keberanian pemimpin.


Kebijakan dan Keberanian yang Diperlukan

Ini bukan hanya soal logika bisnis semata, tetapi juga tentang kebijakan, kemauan politik, dan keberanian untuk bertindak. Pemerintah memiliki peran yang tidak dimiliki pihak lain, yaitu memaksa untuk kepentingan bersama. Ada dua pilihan: bernegosiasi atau, dalam tanda kutip, “melawan”.

Namun, tindakan ini hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin yang cerdas, bernyali besar, dan berhati mulia. Semoga pemimpin seperti itu lahir dari Pilkada kita kali ini di Sulawesi Tengah. Siapa yang berani mencoba?. (*)

Penulis adalah Dosen Universitas Tadulako dan Mantan Fasilitator/UMA (Urban Management Advisor) Program UNDP 2002-2003 di Palu