KISAH INI TENTANG Bank Sampah Navoe di Kelurahan Taipa, Palu Utara, Kota Palu. Di tempat yang mungkin tidak pernah disangka, plastik-plastik bekas yang mengapung di lautan, berserakan di jalan, atau teronggok di pojokan rumah-rumah, kini berubah menjadi harapan.

Sebuah Bank Sampah bernama Navoe, yang berarti “bersih”, hadir di tengah deru ombak dan debu kota. Di sana, sampah menjadi sumber kehidupan bagi puluhan keluarga.

Semua ini bermula dari mimpi sederhana seorang lelaki bernama Dirsan Masra. Berjibaku dengan sampah bukanlah mimpi orang kebanyakan, tapi Dirsan, dengan tangan kasarnya dan mata yang tajam, memilih jalan yang berbeda.

Dirsan Masra di antara mesin pengolah sampah plastik di Bank Sampah Navoe | Foto: Subarkah/Kaidah

Sebagai mantan teknisi darat sebuah maskapai penerbangan, ia tahu bagaimana bekerja dengan teliti dan penuh perhitungan. Tapi ketika kariernya di maskapai penerbangan berakhir, bumi tempatnya berpijak menyimpan banyak tantangan baru.

Berbekal kegelisahan akan masa depan, dan segunung informasi yang ia dapatkan dari majalah-majalah tua tentang pengolahan sampah, Dirsan memutuskan untuk beralih arah.

“Saya tahu, saat berhenti dari pekerjaan saya, saya harus punya sesuatu yang lebih besar dari sekadar mimpi,” ujarnya sembari menyentuh tumpukan botol plastik yang berserakan di sekelilingnya.

Di Kelurahan Taipa, ia memulai perjalanan kecilnya. Tidak ada gemerlap atau sambutan meriah, hanya dirinya dan segunung sampah plastik.

Bersama sekelompok orang yang ia yakini bisa diajak berjuang, lahirlah Bank Sampah Navoe, tempat di mana sampah tak lagi dianggap kotoran semata.

“Kami memulai ini dengan 12 orang, kebanyakan perempuan. Mereka ini ibu-ibu rumah tangga, yang awalnya hanya peduli pada kebersihan rumah, tapi sekarang, mereka adalah pejuang ekonomi sirkular,” katanya bangga.

Bagi mereka, sampah plastik bukan musuh, melainkan teman baru yang membawa berkah. Dari tangan-tangan terampil mereka, botol-botol plastik bekas diubah menjadi paving, sandal, gantungan kunci, bahkan kursi.

Tetapi lebih dari itu, Dirsan punya mimpi besar: mengubah plastik menjadi bahan bakar. Mimpi yang dianggap gila oleh banyak orang. Namun, bagi Dirsan, “gila” hanyalah kata sementara.

Proses itu tidak mudah. Selama bertahun-tahun, ia bereksperimen, gagal, mencoba lagi. Hingga percobaan ke-11, akhirnya ia berhasil menciptakan mesin, yang mampu mengolah plastik menjadi solar, bensin, dan minyak tanah.

Setiap 1 kilogram sampah plastik, bisa menghasilkan 0,8 liter bahan bakar. Sebulan, mereka mampu memproduksi 200 liter solar, 150 liter bensin, dan 50 liter minyak tanah.

“Bekerja dari pukul delapan pagi hingga larut malam, selama 12 jam, tidak pernah membuat kami menyerah,” ungkapnya.

Dirsan menatap bangga hasil jerih payahnya, tapi yang paling memuaskan hatinya, adalah ketika produk tersebut mulai digunakan oleh orang-orang di sekitarnya.

Listin, seorang ibu rumah tangga, membeli minyak tanah dari Navoe untuk keperluan dapurnya.

“Masakan saya tetap sama, tak ada bedanya. Tapi minyak ini berasal dari sesuatu yang dulu tak berharga,” katanya dengan mata berbinar.

Lain cerita dengan Amrun, seorang sopir truk yang sering mengangkut barang dari Palu ke Poso. Solar dari Bank Sampah Novoe sudah menjadi andalannya.

“Saya hanya perlu Rp6.500 per liter, lebih murah dari harga di luar. Dan, ini buatan kita sendiri. Bagaimana tidak bangga?,” katanya sambil tersenyum.

Setiap liter solar dari plastik, membawa truknya melintasi pegunungan dan lembah, dari Palu hingga Poso, dari pantai hingga pedalaman.

Di pesisir, Minhar, nelayan setempat, menggunakan bensin dari Bank Sampah Navoe, untuk menggerakkan mesin perahunya. Ia membeli dua liter bensin seharga Rp20.000 untuk sehari melaut.

“Dari lautan, saya dapat ikan. Dari daratan, saya dapat bahan bakarnya,” katanya penuh syukur.

Setiap kali ia kembali dari laut, kantong-kantong plastik yang pernah mencemari pantai, sekarang menjadi penyelamat.

Di balik angka-angka produksi dan cerita-cerita penggunaan, ada semangat yang terus menyala di Bank Sampah Navoe. Mereka tahu, langkah ini baru awal.

“Kami belum menjangkau pasar yang lebih luas. Tapi, ini bukan soal berapa banyak yang kami hasilkan. Ini tentang mengubah cara kita memandang sampah,” tutur Dirsan yakin.

Mesin pengolah sampak plastik | Foto: Subarkah/Kaidah

Pemerintah Sulawesi Tengah telah mulai mendukung mereka sejak 2019, dengan memberikan mesin press, mesin pemotong plastik, dan gudang penyimpanan.

Tapi bagi Dirsan, dukungan terbesar bukanlah mesin, melainkan perubahan cara pandang masyarakat terhadap sampah.

“Sampah bukan sekadar masalah, tapi peluang,” tegasnya.

Di akhir hari, ketika langit berubah jingga dan debur ombak Teluk Palu semakin lembut, Dirsan duduk di depan pintu Bank Sampah Navoe. Mesin pengolah sampah masih berdengung, menghasilkan bahan bakar dari plastik yang dulunya memenuhi pantai.

Di balik pandangannya yang tenang, ada visi besar yang terus bergerak: dunia yang lebih bersih, lebih berharga, dan lebih menghargai apa yang sebelumnya dianggap tak berguna. (*)

Editor: Ruslan Sangadji