MALAM DI JALAN LAGARUTU, PALU, adalah tentang keheningan yang sering disela oleh angin lembut dari laut. Di salah satu rumah sederhana, Muzdalifah DP, seorang ibu dengan senyum tabah yang selalu hadir di wajahnya, menatap koper pinjaman tetangganya.
Koper itu bukan sekadar barang; ia adalah kunci menuju mimpi yang tak pernah berani ia suarakan dengan lantang—berangkat ke Tanah Suci. Ia harus meminjam koper, karena tempat menyimpan pakaian itu baru akan diserahkan oleh pihak travel saat mereka sudah berada di Jakarta.
KEBERUNTUNGAN YANG TAK DISANGKA
Muzdalifah tidak pernah menduga namanya akan disebut sebagai salah satu dari tiga puluh jamaah yang diberangkatkan oleh Ahmad Ali.
Undian jalan santai di Kota Palu yang ia ikuti dengan rasa iseng, ternyata menjadi gerbang menuju impian yang seumur hidup hanya ia genggam dalam doa.
“Saya rasa seperti mimpi,” ucap Musdalifah sambil tersenyum, matanya berkaca-kaca.
Baginya, undangan ke Tanah Suci adalah jawaban dari harapan yang dulu sering ia bisikkan kepada Tuhan saat malam-malam sunyi.
RASA SYUKUR DAN KOPER PINJAMAN
Namun, rasa syukur itu tak datang tanpa tantangan. Muzdalifah, seperti banyak orang di sekitarnya, tidak memiliki koper yang layak untuk perjalanan jauh. Tapi, tetangganya tahu, perjalanan ini bukan tentang koper atau pakaian baru.
“Ini untuk ibadah, Bu,” ujar tetangganya ketika meminjamkan koper itu. “Koper cuma alat. Yang penting adalah hati yang bersih.”
Dengan koper pinjaman itu, Muzdalifah merasa beban hidupnya seakan terangkat. Ia tidak hanya membawa barang-barang untuk perjalanan fisik, tetapi juga doa-doa dari keluarganya, dari tetangganya, dari mereka yang percaya bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk semua.
TIGA PULUH ORANG, TIGA PULUH CERITA
Muzdalifah tidak sendirian. Di antara tiga puluh orang yang akan berangkat umroh, ada para imam masjid yang kesehariannya penuh dengan dakwah dan pengabdian tanpa pamrih. Ada pula pemenang undian lain, mereka yang datang dari pelosok Banggai Laut, membawa harapan masyarakat yang mendoakan keberangkatan mereka.
Ahmad Ali, dengan langkah ini, bukan sekadar memberikan hadiah. Ia memberikan pengalaman yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang terpanggil. Sembilan hari di Tanah Suci adalah kesempatan untuk melihat Ka’bah, bersujud dan bersimpuh di depannya dan merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta.
“Ini bukan soal politik,” ujar Ahmad Ali dengan nada rendah hati. “Ini tentang kemanusiaan. Tentang berbagi kebahagiaan yang bisa dirasakan sampai ke hati terdalam,” tambahnya.
PERJALANAN DIMULAI
Hari keberangkatan akhirnya tiba. Di bandara, Muzdalifah mengenakan gamis sederhana, menenteng koper pinjaman yang kini terasa seperti koper paling berharga di dunia. Di wajahnya, ada campuran antara gugup dan bahagia, seperti seorang anak yang pertama kali melihat dunia di luar rumahnya.
Ketika pesawat mulai melaju di landasan, hati Muzdalifah dan para jamaah lainnya melambung bersama. Mereka akan berada di Tanah Suci selama sembilan hari, melakukan thawaf, berdiri di hadapan Ka’bah, dan melafalkan doa-doa yang tak pernah lelah mereka panjatkan.
JEJAK KEBAIKAN YANG ABADI
Kisah ini bukan hanya tentang Muzdalifah, koper pinjaman, atau undian jalan santai. Ini adalah kisah tentang kepedulian seorang pemimpin, yang memahami bahwa kebahagiaan tidak selalu hadir dalam wujud kemenangan politik atau angka-angka di kotak suara.
Ahmad Ali telah mengubah hidup tiga puluh orang dengan langkah kecil yang penuh makna. Bagi Muzdalifah, perjalanan ini adalah tanda, bahwa Allah tidak pernah melupakan hamba-Nya yang bersabar.
Dan mungkin, di suatu malam sunyi di Jalan Lagarutu nanti, Muzdalifah akan duduk dengan secangkir teh, merenung sambil menatap bintang-bintang. Hatinya akan bersyukur, bukan hanya karena ia pernah ke Tanah Suci, tetapi juga karena ia tahu, di balik semua tantangan hidup, ada keajaiban yang menanti untuk datang. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan