Apa yang baru dari new normal?

Seminggu terakhir, pemberitaan dari sejumlah media, baik cetak maupun elektronik, terus menerus membahas perihal new normal, suatu istilah dalam bahasa Inggris yang menjadi kian populer bagi mereka yang berusaha beradaptasi dengan Covid-19.

Gaya hidup baru dipromosikan oleh sejumlah figur publik melalui berbagai cara dan media. Gaya hidup tersebut, antara lain menjaga jarak, mengurangi kontak fisik, memelihara kebersihan dan kesehatan, hingga berolahraga rutin dan mendekatkan diri dengan Yang Maha Esa. Ini bukan new normal, ini adalah gaya hidup yang seharusnya.

Maka, berangkat dari sintesis tersebut, benar jika dikatakan bahwa tidak ada yang baru di bawah matahari yang sama (nothing new under the sun). Isu pandemi, begitu juga dengan penanggulangan, adaptasi, dan pencegahannya, merupakan narasi sejarah yang selalu besar kemungkinannya untuk berulang. Seperti halnya diskursus tentang perang, konflik, dan bencana.

Kendati begitu, kita masih saja terkejut dengan merebak dan meningkatnya status Covid-19 sebagai pandemi global. Hal ini seolah membenarkan pendapat satir Hegel: “Satu-satunya pelajaran sejarah adalah (bahwa) manusia tidak belajar dari sejarah.”

Sedikit refleksi, beberapa kasus merebaknya wabah penyakit, telah muncul dalam catatan sejarah, yaitu bagaimana orang Tana Toraja mengidentifikasikan wabah flu dengan nama Ra’aba Biang, yang menggambarkan wabah menyerang manusia dan membuat mereka berguguran seperti daun yang layu, ditiup angin yang bagai ditaburi racun. Atau, bagaimana masyarakat Jawa mengenal istilah pagebluk untuk menyebut wabah penyakit. Kata tersebut berasal dari kata “bluk” yang merujuk pada bunyi sesuatu yang jatuh.

Lantas, dari kisah-kisah tersebut, kita dapat mengenali penyakit-penyakit apa saja yang pernah menjadi “bintang” di Nusantara. Pes/sampar, kolera, malaria, tuberkolosis, biri-biri, dan bahkan flu sendiri.

Menurut peneliti sejarah kesehatan, Syefri Luwis, kebijakan lockdown atau penutupan akses pernah juga diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam menanggulangi wabah pes di Malang, Jawa Timur.

Kebijakan tersebut pun dikeluarkan secara resmi dalam bentuk Staatsblad tentang karantina kesehatan untuk menghadapi influenza.

Sosialisasi wabah, menurut sejarawan epidemi T.B. Arie, terbit pula sebuah buku pedoman berjudul Lelara Influenza yang diperuntukkan bagi para dalang di Malang untuk menyampaikan panduan-panduan di dalamnya dalam bentuk pertunjukan wayang yang digemari oleh berbagai kelompok masyarakat.

Ilmu-ilmu kedokteran disampaikan oleh figur-figur berpengaruh (influential public figure) dalam bentuk yang lebih generik agar lebih mudah dicerna masyarakat luas. Dialog antara Semar, Gareng, Petruk, dan Prabu Kresna digunakan untuk menjelaskan tentang penularan influenza dan bagaimana penularan itu dapat dicegah.

Tidak mengesampingkan fakta juga bahwa lain masa lain pula tindakannya. Pada masa merebaknya Covid-19 ini, masyarakat Indonesia khususnya lebih takut kelaparan daripada sakit.

Beberapa justru coba berkelakar dengan mengatakan bahwa lebih baik sakit (fisik) di luar daripada sakit (mental/stress) di dalam rumah, karena semua orang wajib hukumnya untuk berdiam diri di dalam rumah.

Sungguh, ini mungkin epitome manusia sebagai makhluk sosial yang tidak terelakkan. Agaknya, mau tidak mau, mayoritas masyarakat Indonesia harus bersiap dengan keadaan yang baru.

Yang perlu digarisbawahi, kemudian bukanlah semata perubahan gaya hidup, tetapi juga bagaimana manusia dapat menemukan arti baru dari kehidupan.

Terkait wabah influenza di awal abad ke-20, misalnya, Liga Bangsa-Bangsa mempopulerkan new normal yang relevan kala itu, yaitu agenda untuk menuntaskan perang dan konflik, serta memperkuat kerja sama dunia internasional.

Atau juga bagaimana para tenaga kesehatan kini mempunyai peran diplomasi dengan terbentuknya organisasi kesehatan dunia, kesadaran akan pentingnya kesejahteraan hidup, dan juga kebebasan pers yang juga disebut sebagai ekses dari wabah kala itu.

Kisah tentang pandemi 1900-an hampir saja terlupakan, karena tidak adanya transparansi informasi, yang sesungguhnya dapat berujung fatal: ketidakmampuan generasi mendatang untuk menemukenali masa lampaunya dan ketidakwaspadaan terhadap wabah penyakit yang akan selalu bermutasi dari masa ke masa.

Maka, apa yang baru dari new normal? Apakah kita sedang mengarungi samudera dengan bahtera yang baru, atau semata adaptasi dalam bahtera yang sama, namun samuderanya yang berbeda? (Noor Fatia Lastika Sari – Dari berbagai sumber)