Oleh: Fauzia Noorchaliza
Mahasiswa Pascasarjana Biosains Hewan IPB
Formatur Ketua Umum Korps HMI-wati Cabang Bogor

SEMAKIN bertambahnya jumlah penduduk, semakin dibutuhkan pula ruang-ruang pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pembangunan itu mencakup tempat tinggal, juga infrastruktur lainnya yang berfungsi sebagai penyokong aktivitas manusia. Seperti pembangunan kota, yang dapat memengaruhi perubahan dalam lanskap sosial, ekonomi, hingga lingkungan.

Tak ayal, peningkatan kebutuhan manusia pun menuntut pembukaan lahan. Tentu alih fungsi lahan dengan dalih pembangunan dapat menjadi ancaman bagi konservasi. Salah satu yang sedang terjadi adalah pembangunan Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur.

Tahun 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan memindahkan Ibu Kota Negara ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian dari Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kemudian wilayah yang akan menjadi ibu kota diubah namanya menjadi Nusantara.

Penggunaan nama Nusantara untuk ibu kota baru sempat menjadi polemik, karena kata Nusantara selama ini digunakan untuk keseluruhan wilayah Indonesia, bukan hanya untuk satu kota saja.

Alasan pemindahan ibu kota untuk pemerataan, baik dari sisi ekonomi maupun sosiologis. Jakarta yang selama ini menjadi pusat pemerintahan, dikenal juga sebagai kota metropolitan yang berkembang pesat dengan kompleksitas di dalamnya, yang menjadi pusat dari kegiatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan, juga diharapkan dapat menghilangkan kesan jawasentris yang melekat erat dalam sejarah pembangunan di Indonesia.

Sayangnya, pemindahan ibu kota ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Terdapat banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan dikaji penuh kehati-hatian, mengingat lokasi ibu kota yang baru berada di paru-paru dunia.

Menurut Badan Pusat Statistik, Kalimantan memiliki luas tutupan hutan 28,53 juta hektare. di Kalimantan Timur, kawasan hutan dan konservasi seluas 8,4 juta hektare. Namun, laju deforestasi hutan di Kalimantan Timur cukup tinggi, yakni 3,34 juta hektare.

Tingginya laju deforestasi tentu bukanlah sebuah prestasi.
Menurut Kepala Badan Otorita IKN Nusantara, Bambang Susantono, pada 2022, sedikitnya ada 41.493 hektare hutan yang dilepaskan untuk pembangunan IKN, dan kawasan hutan yang digunakan merupakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Namun, kajian dampak alih fungsi lahan dan pembangunan ibu kota masih harus dilakukan lebih dalam lagi. Banyak permasalahan ekologis yang terjadi selama masa pembangunan. Dampak dari kerusakan sudah dirasakan oleh keanekaragaman hayati dan juga masyarakat.

Konversi hutan menjadi perkotaan, tentu membawa perubahan besar. Hilangnya daerah resapan air membuat IKN dan daerah di sekitarnya berpotensi akan sering mengalami bencana banjir. Hilangnya tutupan hutan juga berpengaruh terhadap iklim mikro, karena terdapat perubahan suhu dan kelembaban yang akan berkorelasi juga terhadap interaksi dan kehidupan biodiversitas.

Ancaman kepunahan cukup menjadi bayang-bayang pekat dari megaproyek IKN. Kepunahan yang dimaksud, baik dalam lingkup keanekaragaman hayati hingga masyarakat adat yang sudah menetap pembangunan IKN.

Hilangnya hutan yang sebelumnya merupakan tempat tinggal bagi aneka ragam hewan, harus menjadi perhatian dalam pengerjaan proyek ini. IKN yang digadang-gadang berkonsep Forest City, ternyata justru kurang memberi perhatian terhadap dampak yang diakibatkan oleh pembukaan areal hutan.

ANCAMAN BIODIVERSITAS

Kalimantan terkenal dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi. Salah satu kelompok hewan yang menjadi daya tarik dari pulau ini, adalah primata. Setidaknya terdapat delapan spesies primata di lingkup pembangunan IKN, dengan status konservasi yang perlu perhatian, karena populasi yang terus menurun.