Data yang dirilis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, sepanjang tahun 2022, terjadi 1.442 kali kejadian gempa dangkal dan dalam di Sulawesi Tengah, termasuk di Kota Palu dan sekitarnya.

KOTA PALU, Sulawesi Tengah, merupakan titik pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia. Lantaran itu, Kota Palu dianggap rawan diguncang gempa.

Pergerakan tiga lempeng besar itu, dapat mendorong terjadinya pergerakan sesar geser Palu Koro yang mengakibatkan gempa. Sesar Palu Koro tergolong aktif karena pergerakannya mencapai 45 milimeter per tahun.

Data yang dirilis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, sepanjang tahun 2022, terjadi 1.442 kali kejadian gempa dangkal dan dalam di Sulawesi Tengah, termasuk di Kota Palu dan sekitarnya.

Hendrik Leopatty, Pengamat Meteorologi dan Geofisika (PMG) Muda BMKG Stasiun Geofisika Palu, menyebutkan, frekuensi guncangan gempa tektonik tahun 2022 paling banyak terjadi pada Bulan April, yang tercatat sebanyak 167 kali guncangan, kemudian Bulan Juni 146 kali dan Bulan Juli 158 kali.

LIKUEFAKSI – Pemandangan bekas likuefaksi Kelurahan Petobo, Palu Selatan | Foto: Ochan/Kaidah

Dari 1.442 kali guncangan, terdapat 35 kali gempa signifikan atau dirasakan masyarakat dengan kedalaman dangkal.

Gempa bumi yang terjadi di Sulteng masih didominasi gempa dangkal, yang dipicu pergerakan sesar lokal. Sesar kapan saja bisa aktif tanpa bisa diprediksi.

Dari catatan BMKG Stasiun Palu frekuensi gempa berdasarkan kedalaman terjadi lebih 1.000 kali gempa dangkal dengan kedalaman 60 kilometer ke bawah.

PENGALAMAN

Kesiapsiagaan bencana menjadi sangat perlu dan penting. Gempa yang disertai likuefaksi dan tsunami 28 September 2018 silam menjadi pengalaman buruk bagi warga. Pengalaman yang sangat mengerikan bagi kita semua.

Pemerintah daerah juga tidak siap. Mitigasi bencana sangat buruk. Maka perlu diperkuat, baik itu mitigasi struktural maupun non struktural.

Mitigasi struktural itu, penguatan bangunan publik yang tahan guncangan, tsunami. Entah kalau likuefaksi.

Sedangkan mitigasi non struktural, adalah peningkatan sumber daya warga dan pemerintah daerah menghadapi bencana.

Tetapi semua itu tidak akan berarti apa-apa, jika tidak ada kepedulian masyarakat, dan tidak ada regulasi yang tegas dari pemerintah daerah.

EVAKUASI – Evakuasi korban tsunami di Pantai Talise Palu pada H+1 tsunami atau tepatnya pada 29 September 2018 | Foto: Ochan/Kaidah

Pemerintah harus tegas melarang pembangunan bagi pemukiman warga di wlayah-wilayah terlarang bagi pemukiman atau zona rawan bencana tingkat tinggi. Larangan itu tidak boleh mengedepankan perasaan, tetapi harus rasional dan tegas.

Penataan ruang wilayah sangat penting dilakukan, dengan memerhatikan semua potensi dan ancaman itu. Tujuannya, untuk menimalkan risiko bencana.

Misalnya, Balaroa dan Petobo, harus benar-benar dikosongkan. Tidak boleh lagi ada pemukiman. Jika tidak bisa, bangunan harus benar-benar mempertimbangkan mitigasi. Konstruksi bangunan harus betul-betul tahan gempa.

Beberapa waktu yang lalu, seorang warga di BTN Petobo, sebut saja namanya Ci Ling Iskandar, mengaku, lantai di dapur rumahnya, beberapa kali menyemburkan air dari dalam tanah dan merusak lantainya.

Bukan sekali dua kali semburan air itu terjadi, tetapi terus-terusan. Peristiwa itu terjadi, karena memang jarak rumahnya dengan kawasan likuefaksi, hanya berkisar 300 meter ke arah timur.

Ci Ling Iskandar ketakutan dan akhirnya memilih pindah dari BTN Petobo. Rawan memang, jika memilih bermukim di lokasi rawan likuefaksi.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), tidak boleh hanya berlaku seperti pemadam kebakaran semata. Ada bencana baru datang dengan segala fasilitasnya. Lebih dari itu, penguatan kapasitas kepada masyarakat sangat perlu dilakukan sejak dini.

Semoga kita semua terhindar dari marabahaya. Wallahu a’lam. (*)