AHAD, 22 Januari 2023, warga Tionghoa dan seluruh warga China di dunia akan merayakan Tahun Baru Imlek. Kata Imlek, memang berasal dari Bahasa Mandarin. Namun spesifiknya, kata tersebut lahir dari dialek Hokkien atau Hokkian.
Dalam dialek Hokkien atau Hokkian, Imlek (阴历, dibaca im-lek) terdiri dari dua suku kata, yaitu im yang berarti ‘bulan’ dan lek berarti ‘penanggalan’. Maka arti Imlek adalah ‘kalender bulan’.
Istilah Imlek berbeda lagi dalam bahasa Mandarin. Kata tersebut dikenal dengan sebut anyin li (陰曆, dibaca yīn lì). Maknanya juga sama, yaitu lunar calendar atau ‘kalender bulan’.
Di Indonesia, sejak 1968 hingga 1999 warga Tionghoa dilarang merayakan Tahun Baru China atau Imlek. Larangan ini berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang dibuat oleh presiden Soeharto. Sekarang, tidak ada penjelasan mengenai larangan tersebut.
DISKRIMINASI, LIEM SWIE KING DIPAKSA GANTI NAMA
Akibat larangan perayaan Imlek yang termuat di dalam Inpres 14 Tahun 1967 itu, akhirnya terjadi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Mereka, tidak boleh punya peran di macam-macam bidang, selain di bidang ekonomi dan sangat sedikit di dunia olahraga bagi yang beprestasi seperti Liem Swie King. Itupun ia dipaksa mengganti nama menjadi Guntur saat berlaga di All England.
Kisah dipaksa mengganti nama dari Liem Swie King menjadi Guntur itu, diceritakan oleh atlet Hariyanto Arbi di akun instagram pribadinya 24 Sepetember 2021 lalu berdasarkan cerita si pemilik nama itu.
Akhirnya, ketika panitia memanggil nama Guntur, diulang sampai tiga kali, tapi tidak hadir di lapangan, karena Liem Swie King belum paham, bahawa nama ia telah dipaksa mengganti nama menjadi Guntur sehingga ia hanya asyik pemanasan di pinggir lapangan.
Singkat kisah, penggantian nama Liem Swie King menjadi Guntur itu, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing.
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga terjadi dalam bidang hukum. Alissa Wahid, putri KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menceritakan, pada 90-an, Gus Dur memberikan keterangan ahli di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, untuk pernikahan pengantin Tionghoa di Surabaya bernama Budi Wijaya dan Lanny Guito yang tidak dapat mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil karena agama Konghucu belum diakui di Indonesia.
Pasangan ini kemudian mengajukan gugatan secara resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Gugatan ini dilakukan agar kelak anak dari mereka tidak dianggap sebagai anak di luar pernikahan dan tidak mendapatkan pengakuan dari negara.
Sejak saat itulah, Gus Dur mulai menjadi tokoh terkenal di kalangan orang Tionghoa.
32 tahun berselang sejak era Soeharto, orang Tionghoa dapat bernapas lega. Ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI yang ke empat.
BAPAK TIONGHOA
Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dan menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Keppres yang dikeluarkan Gus Dur inilah, menjadi awal yang bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Mereka mulai mendapatkan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.
Sebagai tindak lanjut keputusannya itu, pada 9 April 2001, Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif yang berlaku hanya bagi mereka yang merayakannya. Keputusan itu diatur dalam Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Gus Dur, yang dikenal sebagau tokoh pluralisme di Indonesia, khususnya menyangkut orang Tionghoa, Gus Dur mendapatkan julukan sebagai “Bapak Tionghoa”. Julukan ini diberikan oleh masyarakat Semarang bertepatan dengan hari Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie pada 10 Maret 2004.
Selamat Merayakan Imlek bagi warga Tionghoa. (*)
Tinggalkan Balasan