Oleh: Darlis Muhammad

AIR BERCAMPUR LUMPUR PEKAT merambat pelan namun pasti, menyusup ke setiap sudut rumah-rumah warga di Kelurahan Watusampu, Kota Palu, pekan silam.

Jeritan hati para ibu tak dapat dibendung, ketika menyaksikan banjir lumpur, yang menghancurkan ketenangan rumah mereka. Di tengah genangan lumpur yang menguasai ruang-ruang kehidupan, batin menjerit lirih, merasakan duka yang tak terkatakan.

Bencana banjir lumpur ini, bukan hanya mengganggu rutinitas harian, tetapi juga merampas kebebasan hidup warga Watusampu dan sekitarnya.

Nelayan yang telah lama bergantung pada laut, kini menghadapi kenyataan pahit, laut di sekitar mereka tercemar. Ladang-ladang yang dulu subur, kini semakin tergerus, bahkan lenyap dari peta lanskap Kota Palu.

Pengguna jalan yang melewati kawasan tersebut, tak luput dari derita; selain terjebak macet saat musim kering, debu dan abu yang menyelimuti jalanan menjadi “menu” sehari-hari.

Kita semua menyadari, banjir di masa depan tak hanya akan menghancurkan rumah dan kebun, melainkan akan membawa bencana lebih besar: rusaknya lingkungan secara menyeluruh.

Penyebab utamanya, bukan sekadar curah hujan tinggi atau perubahan iklim, tapi eksploitasi tambang yang semakin merajalela di pesisir Kota Palu dan Donggala.

Gunung-gunung yang digerogoti tanpa kendali, telah mengubah morfologi wilayah tersebut. Akibatnya, Watusampu kehilangan fungsi alaminya, sebagai daerah tangkapan air dan perlindungan alam, hutan-hutannya kini gundul dan menganga, terbuka lebar menyambut malapetaka.

WATUSAMPU MENGGANTUNG DI UJUNG KEMANUSIAAN

Jika tak ada tindakan segera, bencana yang lebih besar menanti. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah bersama pemangku kebijakan lain, harus segera mencairkan kebuntuan ini, menyelamatkan lingkungan yang sudah jelas rusak.

Ini adalah panggilan bagi gubernur, wali kota, bupati, dan para legislator di Sulawesi Tengah, untuk bergerak cepat. Belasan ribu jiwa bergantung pada langkah-langkah darurat, yang mereka ambil untuk melindungi kawasan ini. Namun hingga kini, kita belum melihat keseriusan pemerintah dalam merumuskan kebijakan, yang berpihak pada lingkungan.

Dalam perumusan tata ruang dan pembangunan, untuk kepentingan umum — yang salah satunya adalah, penyediaan material bagi pembangunan Ibu Kota Nusantara — keterlibatan warga sangat minim.

Sudah saatnya moratorium terhadap eksploitasi gunung di Watusampu diberlakukan. Warga harus dilibatkan dalam setiap negosiasi dan perundingan, karena merekalah yang paling merasakan dampak langsung dari setiap kebijakan yang diambil.

SUARA WARGA TAK BOLEH DIABAIKAN

Mereka memiliki hak atas kota tempat mereka tinggal, dengan segala kerumitannya. Mereka harus menjadi bagian dari proses transformasi kota, yang sesuai dengan konteks ekonomi dan politik masa kini.

Harapan kita, pemerintah pusat, provinsi dan kota, segera melakukan kajian rutin, tentang dampak dari penambangan besar-besaran di kawasan Watusampu.

Apakah eksploitasi besar-besaran ini, sepadan dengan kerusakan yang ditimbulkan? Apakah manfaat ekonomi lebih besar daripada biaya lingkungan yang harus ditanggung? Ini adalah pertanyaan yang butuh jawaban.

Banjir yang melanda Watusampu, mungkin adalah teguran alam. Alam telah berbicara, mengingatkan kita agar tidak serakah, agar tidak memandang kekayaan alam hanya sebagai sesuatu yang bisa dikeruk tanpa henti.

Sudah saatnya kita semua bertanggung jawab, bekerja sama untuk merawat, memperbaiki, dan menjaga kelestarian lingkungan.

Semoga kita tidak lagi tuli terhadap seruan alam. (*)

Editor: Ruslan Sangadji