Oleh: Fransiscus Manurung
Praktisi Hukum di Kota Palu

AHAD, 5 Juli 2009, beberapa hari menjelang Pemilu Presiden 8 Juli 2009 silam, televisi menyiarkan penemuan Daftar Pemilih Tetap (DPT) fiktif, dalam Pemilukada Jawa Timur. Suasana politik saat itu sedang panas.

Temuan itu berbuntut panjang pada Pemilu Presiden. Karena ternyata, ketidakberesan DPT banyak ditemukan di seluruh Indonesia. Banyak warga negara yang berhak memilih, tapi tidak tercantum namanya dalam DPT. Sebaliknya, ada beberapa nama yang tercantum ganda dalam DPT.

Kemudian, beredarlah tuduhan liar, kekisruhan itu sengaja dilakukan oleh KPU dan Partai Demokrat, dengan maksud memenangkan pasangan calon SBY-Boediono. Protes masyarakat dan kontestan Pemilu Presiden, mendominasi pemberitaan media saat itu.

Pasangan calon Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto bertandang ke kantor Muhammadiyah di Jakarta, menemui Din Syamsuddin, ketua umum pada masa itu. Pada saat pertemuan secara terbatas berlangsung, tim sukses kedua pasangan menyampaikan ancaman kepada pers:

“Kalau KPU tidak menyelesaikan masalah DPT dalam tempo 2 X 24 jam, maka pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto akan mengundurkan diri dari pencalonan presiden,” begitu ancamannya.

Situasi makin gawat. Bila benar kedua pasangan tersebut mengundurkan diri, akan terjadi chaos. Sebab, Pemilu Presiden yang tinggal beberapa hari lagi tetap akan berjalan, dan pemenang yang terpilih tanpa kompetitor, akan melahirkan demokrasi jalanan yang anarkis.

Keesokan harinya, Senin 6 Juli 2009, pagi hari, para hakim konstitusi menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Mereka berdiskusi dan bermusyawarah untuk menyelamatkan negara. Secara aklamasi, disepakati untuk mengabulkan permohonan pengujian yang menggugat ketentuan DPT yang diajukan Refly Harun dan kawan-kawan pada 14 Juni 2009 – sebulan sebelumnya – namun belum diperiksa.

Pukul 10.00 WIB, setelah RPH, sesudah memanggil pemohon Refly Harun dan kawan-kawan untuk pemeriksaan pendahuluan. Kepada Refly Harun dan cs hanya ditanyakan: “Apa permohonan Anda?”. Setelah dijelaskan, pimpinan sidang langsung mengatakan: “Oke, permohonan Anda dianggap memenuhi syarat, nanti pukul 16.00 WIB akan diputuskan. Diharap supaya hadir”.

Artinya, dari pemeriksaan perdana pada pemeriksaan pendahuluan, jadwal sidang langsung lompat ke agenda pengucapan putusan pada sore harinya. Kebijakan peradilan super cepat (speedy trial) untuk kondisi darurat, tanpa memanggil pihak-pihak dan tak perlu nendengar keterangan DPR dan pemerintah.

Sore hari, putusan diucapkan dalam sidang pleno yang dinyatakan terbuka untuk umum. Mahkamah memutuskan bahwa KTP dan paspor boleh dipergunakan untuk melaksanakan hak pilih, meskipun namanya tidak terdaftar dalam DPT. DPT itu hanya instrumen, sedangkan hak pilih adalah prinsip.

Oleh sebab itu, sejauh warga negara bisa membuktikan identitasnya dengan KTP atau paspor, ditambah kartu keluarga, maka dapat dipergunakan untuk menyalurkan hak pilihnya.

Dampak putusan MK itu luar biasa. Ibarat bara api yang tersiram air. Kekisruhan politik yang semula panas membara, tiba-tiba menjadi reda. Putusan MK disambut luas sebagai terobosan yang menyelamatkan bangsa dan negara. Seluruh media massa menjadikan putusan MK sebagai headline di halaman pertama.

Presiden SBY pun langsung menenelepon Ketua MK ketika itu: “Bapak Mahfud, saya sangat senang dengan keputusan ini. Saya akan umumkan sikap saya kepada rakyat sebentar lagi, malam ini. Saya merasa senang, karena akibat DPT yang kacau balau itu, Presiden didesak untuk mengeluarkan Perpu”. Selaku kepala negara, Presiden berterima kasih kepada MK.

Dua hari pasca putusan MK diucapkan, pemungutan suara pemilihan presiden, 8 Juli 2009, berjalan mulus tanpa gejolak yang mengkhawatirkan.

Lalu, apakah kita harus dan perlu persoalkan tata cara persidangan, mekanisme dan prosedural dan sebagainya terhadap putusan tentang DPT tersebut?

Jangan pernah bermimpi, bahwa putusan MK akan diterima baik oleh semua kalangan, apalagi diterima sepenuhnya oleh seluruh rakyat Indonesia. Apapun isi putusan MK, pasti ada yang tidak puas, sebab kepentingannya tidak terakomodasi secara hukum.

Tentu, sampai di sini saja celoteh ini. (*)