PERJALANAN WAKTU sampai pada sebuah fakta terkini. Mediapun, sebagaimana teknologi, menerima kenyataannya, bahwa sekreatif apapun media juga menerima perubahan. Termasuk mengubah format penyampaiannya.

Bertanggal 14 Desember 2022, ditandatangani Arys Hilman selaku Direktur PT Republika Media Mandiri, mengirim copy surat untuk para relasi harian ini, Republika. Genap tiga puluh tahun koran ini menyapa masyarakat Indonesia.

Dalam surat itu, Arys Hilman menulis antara lain,”….bagi kami saatnya untuk mengambil langkah kanan berikutnya. Setelah itu, 1 Januari 2023 kami sepenuhnya berjalan dalam wahana. Surat kabar cetak hingga edisi Sabtu 31 Desember 2022. Setelah itu kami akan mencurahkan semua kekuatan editorial, sumber daya, waktu, pikiran dan energi untuk semata kanal-kanal digital—diantaranya republika.co.id, republika.id., Retizen dan akun-akun resmi di media sosial, dalam sajian multiplatform yang mencakup kekuatan teks, grafis, audio, foto, dan video.”

Republika, menerima eksistensinya sebagai sebuah harapan, khususnya sebagai media atau surat kabar “umat” wabilkhusus kaum muslimin. Mengikuti perkembangan teknologi, Republika pun berbenah, antara lain memasuki era teknologi multimedia: website, video. Pada dia macam format komunikasi itu, pemberitaan tidak cukup pada aspek pure jurnalistik sebagai tantangannya.

Ownership media itu mengemuka: bisakah dengan masuk dan berkelindannya Erick Tohir sebagai menteri Presiden Jokowi, tidak akan membawa implikasi bagi independensi Republika? Benarkah pada era digital, Republika tetap mengabdikan dirinya kepada “ummat” atau sebaliknya: “ummat” kehilangan Republika sebagai salah satu pilar demokrasi, karena dengan posisi ownerhip Republika sudah otomatis mengabdi kepada Presiden. Jika demikian, sulit diharapkan Republika bisa menjaga independensinya. Republika –terlebih pada era akan masuknya fase pemilihan umum.

Atau, dengan kesadarannya sendiri, Republika bisa merawat independensinya, kreativitasnya tak berkurang, termasuk kreativitas dalam merawat kebangsaan dan keIndonesia-an. Maka, multimedia dan multiplatform akan menjadikannya sangat kaya dan kreatif. Dengan eksistensinya, Republika (dan seluruh member group medianya) bisa meneruskan kebaktian spiritualnya dalam menjaga kemaslahatan ummat dan bangsa.

MENGHARGAI MASA LALU

Benar bahwa ini zaman serba benda. Siapa ingin eksis, perlu ongkos, perlu cuan, kepeng, perlu materi. Manajemen “materi” itu yang menentukan, berdiri pada pilar fairness atau sepenuhnya menjadi business as usual –zonder moralitas. Tiga poin utama yang ingin saya kemukakan: pertama, media ini “pernah” menjadi harapan ummat; kedua, media ini ketika diluncurkan dibangun dengan “saweran” dana ummat.

Kita tidak tahu siapa yang mewakili ummat sehingga Republik yang ketika itu disangga PT Abdi Bangsa –sahamnya dimiliki ummat –sehingga bisa mengatasnamakan ummat dan menjualnya kepada seseorang yang akhirnya menjadi owner Republika—kita tahu sosok ini Erick Thohir, yang kemudian direkrut Presiden Joko Widodo Menteri menjadi Badan Usaha Milik Negara Indonesia (mulai 2019 – sampai saat ini).

Dengan penegasan posisi Erick Thohir sebagai Menteri BUMN, dan dengan begitu kepemilikannya atas Republika menjadi relatif independen? Atau justru amat dependen? Masyarakat Indonesia akan menilainya. Momentum “waktu yang tersisa” sebelum tahun 2023 datang – beberapa hari di bulan Desember ini, setidaknya menjadi ujian seberapa independen atau tidak dependen-nya Republika (dan seluruh membership-nya). Dengan masa lalu sebagai surat kabar umat (Islam), biarlah umat menilai wujud konkrit (bukan untuk berpihak dengan suara kekuasaan), seberapa independen atau dependen apa Republika.

Sisa waktu jelang bermutasi menjadi media digital sepenuhnya, menguji eksistensinya sebagai “media ummat” dan menjadi harapan ummat, sebagaimana masa lalunya, atau benar-benar hanya masa lalu dan sekadar menjadi sejarah. Wallahu a’lam bi shawab. (*)