Oleh: Sri Meisista
Pengurus Besar KOHATI
KONFLIK 1948 membuka babak baru dalam perjuangan antara Yahudi dan Arab Palestina, yang sekarang juga mempengaruhi jalinan kepentingan diplomatik, politik dan ekonomi.
Hingga kini, Palestina diakui sebagai negara merdeka oleh beberapa negara, tetapi tidak oleh Israel, Amerika dan beberapa negara Eropa lainnya. Lantaran itu, jawaban untuk pertanyaan kapan Palestina Merdeka, masih belum ada di dalam kamus.
Indonesia sendiri, tetap konsisten sebagai salah satu negara yang mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Konsistensi itu, sejak Yasser Arafat memperoklamirkan kemerdekaan Palestina pada 15 November 1988.
Sepanjang sejarah, Palestina telah diperintah oleh banyak kelompok, termasuk Asyur, Babilonia, Persia, Yunani, Romawi, Arab, Fatimiyah, Turki Seljuk, Tentara Salib, Mesir dan Mamelukes. Dari sekitar 1517 hingga 1917, Kekaisaran Ottoman menguasai sebagian besar wilayah tersebut.
Ketika Perang Dunia I berakhir pada 1918, Inggris menguasai Palestina. Liga Bangsa-Bangsa mengeluarkan mandat Inggris untuk Palestina — sebuah dokumen yang memberi Inggris kontrol administratif atas wilayah tersebut, dan termasuk ketentuan untuk mendirikan Tanah Air Nasional Yahudi di Palestina — yang mulai berlaku tahun 1923.
GENCATAN SENJATA DAN NILAI PEREMPUAN
Perang di Palestina dan Israel masih berlangsung. Israel belum berkeinginan melakukan gencatan senjata. Kondisi itu membuka mata kita, bahwa konflik yang terjadi di Jalur Gaza, bukan lagi soal kepentingan politik, diplomatik maupun ekonomi semata, tetapi juga soal moral dan identitas perempuan di dalamnya.
Para pembaca mungkin bertanya kenapa harus perempuan menjadi bagian dari cerita konflik Palestina-Israel?
Gempuran Zionis Israel ke wilayah Gaza, membuktikan bahwa perang menimbulkan banyak korban, dan korban terbesarnya adalah penduduk sipil, khususnya perempuan dan anak-anak.
Perempuan dan anak-anak adalah pihak yang tidak bersenjata. Kondisi itu membuat mereka sangat mudah mendapat perlakuan tidak manusiawi dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, terutama bila jatuh di tangan musuh.
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam perang dan konflik bersenjata, seringkali dianggap sebagai ekses saja dari peperangan.
Suasana perang yang penuh dengan jargon-jargon maskulinitas, seperti keberanian, kegagahan, keperkasaan, dan lain-lain, menenggelamkan kaum perempuan sebagai makhluk yang tidak berdaya, sehingga keberadaannya seringkali diabaikan.
Dalam setiap perang, muncul fakta-fakta mengenai perempuan, termasuk pula anak-anak, antara lain sebagai berikut:
- Dalam perang, kerusuhan, dan ketegangan, perempuan acapkali menjadi korban pembunuhan, kekerasan dan pelecehan seksual.
- Peristiwa-peristiwa serupa pada masa lalu, juga memperlihatkan pola yang sama, tindakan kekerasan terhadap perempuan (musuh) merupakan sebuah strategi peperangan bahkan dijadikan semacam psywar terhadap pihak lawan.
Apa yang bisa kita ambil dari kasus tersebut? Sebagai perempuan, nilai keperempuanan selalu menjadi hal prioritas untuk dijaga dan dilindungi tanpa terkecuali.
Dengan kondisi yang begitu memprihatinkan di Jalur Gaza, tentu harus kita gaungkan, bahwa nilai perempuan harus selalu dijaga, karena menjaga perempuan sama halnya menjaga bumi dan manusia di masa depan.
Yang jelas, palestina tidak akan pernah mati jika masih ada perempuan-perempuan hebat di sana. (*)
Tinggalkan Balasan