Oleh Suparman *)
Desa memiliki otoritas untuk mengatur dirinya sendiri. Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional untuk mengurus kepentingan masyarakatnya. Dalam perjalanannya, kekuasan yang dimiliki desa mengalami pasang surut dalam beragam bentuk. Karena itu, kekuasaan pada entitas desa perlu dijaga, dirawat, dan diberdayakan. Tanpa otonomi ini, desa selamanya hanya menjadi ‘obyek’ dari pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan. Desa tak pernah menjadi ‘subyek’, yang mampu berjalan dan bergerak dinamis.
Secara regulatif, desa menjadi kesatuan masyarakat yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri. Oleh karena itu, desa memiliki mengelola kepentingan masyarakat secara mandiri dan otonom. Dalam implementasinya, desa mendasarkan pada prakarsa masyarakat, hak asal usul, atau hak tradisional yang diakui secara formal.
Tentu saja harapan terbesar dari hak otoritas desa ini, agar nantinya desa tumbuh dan berkembang menjadi lebih kuat, lebih maju, lebih mandiri, bahkan mampu menjadi contoh proses demokrasi. Desa dipercaya mampu membangun pondasi yang kokoh, untuk menyelenggarakan berbebagai urusan pemerintahan.
Tujuannya tentu saja untuk membawa masyarakatnya untuk mendapatkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Semestinya, kewenangan yang diberikan ini, tidak boleh disia-siakan. Kekuasaan yang diterima ini, tidak membuat desa jadi salah urus. Pendek kata, pemerintahan desa menjadi ujung tombak bagi tercapainya aspirasi masyarakatnya.
Di Indonesia berbagai bentuk penyelenggaran pemerintahan desa seperti di Provinsi Bali dan di Sumatera Barat. Di Provinsi Bali, hampir semua desa diselenggarakan berpedoman pada norma-norma adat yang berlaku di tempat itu. Pemangku adat menjadi elemen penting dalam penyelenggaran pemerintahan desa.
Sementara itu, Provinsi Sumatera Barat menyelenggarakan pemerintahan desa melalui nagari. Nagari menjadi kesatuan masyarakat yang menggunakan hukum adat secara geneologis dan historis. Oleh karena itu, nagari memiliki batas-batas dalam wilayah tertentu. Nagari memiliki harta kekayaan sendiri, dan berwenang memilih pemimpinnya secara musyawarah. Bahkan, nagari memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa. Pemerintahan Nagari berdasarkan filosofi dan sandi adat. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, sedikitnya terdapat 74.517 desa, dan 919 berstatus nagari di Sumatera Barat.
Era New Normal
Pada era new normal, bagaimana cara membuat situasi kita menjadi lebih baik. Menurut, Direktur Jenderal, Organisasi buruh dunia Internasional (ILO), Guy Ryder (2020), saat pandemi Covid-19 masih berlangsung, tantangan terbesar bagi kita, bagaimana melindungi diri kita sendiri dan keluarga kita dari virus ini, dan bagaimana mempertahankan pekerjaan kita. Bagi pembuat kebijakan, bagaimana menerjemahkan kebijakan yang mampu mengalahkan pandemi ini, tanpa merusak proses ekonomi secara permanen.
Dengan pikiran Guy Ryder itu, konsep new normal harus dipahami sebagai skenario mempercepat penanganan pandemi Covid-19, dengan mempertimbangkan aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Prinsipnya, aktivitas sosial-ekonomi tetap jalan, tetap produktif dan tetap aman, meski kita bekerja dalam kondisi pandemi yang belum mereda. Alasannya, kegiatan sosial, ekonomi dan bisnis harus tetap di jalan. Jika aktivitas berhenti, maka kondisi ekonomi dan bisnis tentu saja makin memburuk seiring dengan memburuknya kesehatan.
Pada akhirnya, kondisi ekonomi itu juga akan menganggu pemulihan kesehatan. Masyarakat tidak memiliki pendapatan, atau penghasilan selama pandemi, akan sulit menghadapi hidup dan memenuhi kebutuhan. Seharusnya, new normal bagi pemulihan ekonomi, sekaligus sebagai langkah simultan pemulihan kesehatan. Aktivitas ekonomi dan kesehatan saling menguatkan, bukan justru melemahkan. Tentu saja, penerapan new normal patokannya pada kajian epidemiologis dan kesiapan wilayah, termasuk otoritas desa.
Protokol penerapan new normal, di mana dunia usaha dan masyakat pekerja memiliki kontribusi besar dalam memutus mata rantai penularan. Pemutusan mata rantai Covid-19 ini terjadi, apabila dunia usaha dan masyarakat seluas menerapkan secara ketat protokol kesehatan. Kita tahu bersama, besarnya jumlah populasi pekerja dan besarnya mobilitas kerja, serta interaksi penduduk umumnya disebabkan aktivitas bekerja. Tentu menjadi wilayah yang rentan dalam penyebaran wabah ini. Tempat kerja sebagai lokus interaksi dan berkumpulnya orang menjadi faktor risiko tinggi yang perlu diantisipasi, jika berkeinginan memutus mata rantai virus ini.
Diskursus atau debat selanjutnya selanjutnya, bagaimana penerapan new normal di desa, dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat desa. Tulisan ini menyampaikan paling tidak ada lima hal urgen yang perlu diperhatikan.
Pertama, perlunya menerapkan protokol new normal berlandaskan pada budaya dan kearifan lokal pada masing-masing desa. Tujuannya untuk mengintegrasikan protokol new normal dengan adat dan kebiasan warga setempat. Penerapan new normal secara gradual, hingga menjadi kaidah yang dianut masyarakat. Tanpa menjadikan new normal sebagai norma, maka akan sulit dipatuhi secara umum. Apalagi sebagian besar desa, berstatus desa adat dan nagari.
Kedua, perlunya melakukan kompilasi protokol new normal di desa, agar masyarakat mengetahui informasi secara up to date dan data secara baik. Ketidaktahuan mengenai new normal dapat ‘membahayakan’ masyarakat yang minim informasi desa, apalagi masih kuatnya hoax yang disebar.
Ketiga, penerapan new normal di desa harus dilaksanakan dengan mengedepankan musyawarah dan mufakat seluruh elemen dan entitas desa. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan seperti pemerintahan desa, badan perwakilan desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda, serta komunitas lain yang berada di desa. Pelibatan pemangku kepentingan ini bertujuan untuk saling memonitor. Muara dari pelibatan ini, untuk memimalkan terjadi conflict of interest dalam penerapan new normal.
Keempat, perlunya kesiapan sarana dan prasaran serta adanya pendanaan yang jelas dalam penerapan new normal di desa. Fasilitas itu dapat berupa fasilitas cuci tangan di tempat-tempat umum yang mudah dijangkau, dan tenaga kesehatan yang berada di tempat di desa untuk monitoring. Ketidaksiapan sarana dan prasarana, akan menganggu penerapan new normal.
Kelima, penerapan protokol new normal di desa perlu diberikan penguatan melalui penerbitan peraturan desa sebagai panduan dalam melaksanakan norma baru di desa.
Tinggalkan Balasan