PALU, KAIDAH.ID – Pagi yang biasanya tenang, Gubernur Sulawesi Tengah mendadak berubah menjadi panas, Ahad, 11 Mei 2025. Gubernur Anwar Hafid terlihat geram. Suaranya meninggi ketika ia mendengar laporan dari Kepala Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air (Cikasda), Andi Rully Djanggola. Sebuah perusahaan besar, PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG), diduga menggunakan dokumen palsu atas nama dinas yang dipimpin Andi.
“Kadis Cikasda mengaku tidak tanda tangan surat itu. Saya bilang, lapor polisi!” ujar Anwar Hafid tegas, mengenang momen itu. “Kita bisa berkawan, tetapi untuk rakyat kita tidak berkawan,” tegas Gubernur.
Langkah cepat pun diambil. Tak menunggu lama, Kadis Cikasda Andi Rully langsung menuju Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Ia membawa serta empat lembar fotokopi surat yang dianggap menjadi sumber masalah: surat rekomendasi teknis yang diduga palsu, dengan nomor 600.1.2/1675/DCKABSDA/VI/2024.
Surat itu, menurut Andi Rully, bukan berasal dari kantornya. Tapi anehnya, nama institusi yang ia pimpin tercantum dengan jelas di dalamnya, seolah-olah dokumen tersebut sah dikeluarkan oleh Dinas Cikasda Sulawesi Tengah.
“Kami tidak pernah mengeluarkan surat itu. Tidak ada dalam arsip kami, dan saya tidak pernah menandatanganinya,” tegas Andi Rully.
Laporan resmi ke polisi kini telah terdaftar dengan nomor: LP/B/116/V/2025/SPKT/Polda Sulawesi Tengah. Isi laporan menyebut bahwa BTIIG diduga memalsukan dokumen rekomendasi teknis untuk mendapatkan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air (IPSDA) di wilayah Irigasi Bendungan Karaupa, Kecamatan Bumi Raya, Kabupaten Morowali, daerah yang semakin menjadi magnet investasi tambang, namun juga rawan konflik kepentingan.
PT BTIIG bukanlah nama asing di Morowali. Sebagai perusahaan yang bergerak dalam industri pertambangan dan hilirisasi nikel, kiprah mereka telah membentang dari kawasan industri, hingga perbincangan di ruang-ruang pemerintahan. Namun, dugaan pemalsuan dokumen ini membuka sisi lain dari praktik investasi: potensi manipulasi dan penyalahgunaan wewenang.
Gubernur Anwar Hafid sendiri tidak menampik, pihak BTIIG sempat mencoba menjalin komunikasi, bahkan meneleponnya. Tapi bagi Anwar, ini bukan soal relasi pribadi.
“Ini soal integritas. Soal hak rakyat atas sumber daya mereka,” katanya.
Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi dasar hukum dalam pelaporan ini. Pasal itu mengatur ancaman pidana bagi siapa saja yang membuat surat palsu atau memalsukan surat dengan maksud untuk digunakan seolah-olah asli. Jika terbukti bersalah, konsekuensinya bukan hanya administratif, tapi juga pidana.
Laporan ini bisa menjadi preseden penting. Di satu sisi, ia menunjukkan, pemerintah daerah, khususnya Sulawesi Tengah, tidak akan mentolerir praktik ilegal meskipun pelakunya adalah investor besar. Di sisi lain, ini sekaligus peringatan, bahwa integritas birokrasi harus dijaga dari pintu depan, termasuk oleh pemimpinnya.
Langkah ini tidak hanya soal menindak satu perusahaan. Ini sinyal bahwa Pemprov Sulteng akan bertindak jika ada indikasi pelanggaran, siapa pun pelakunya.
Kini, bola panas ada di tangan aparat penegak hukum. Masyarakat menunggu apakah dugaan ini akan benar-benar diusut tuntas. Di tengah derap investasi dan geliat pembangunan, kasus ini mengingatkan: dokumen bukan sekadar kertas. Ia bisa menjadi pangkal krisis kepercayaan, atau justru, tonggak penegakan hukum. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan