SAAT ITU, 2 April 1565, udara dingin menusuk tulang. Terdengar tangisan bayi laki-laki dalam sebuah kamar di Gouda, Belanda. Oleh orang tuanya, bayi itu diberi nama Cornelis de Houtman. Waktu terus berjalan, Cornelis de Houtman tumbuh menjadi seorang remaja yang berkeinginan menjadi penjelajah.

Pada abad 16, ada sebuah pulau yang kaya sangat tersohor di Eropa. Para pedagang di Eropa kerap membicarakan keberadaan pulau yang kaya tersebut. Tapi mereka tak tahu pasti, di mana keberadaan pulau yang kaya akan sumber daya alam tersebut.

Para pedagang di Belanda bertekad mencari tahu di mana letak pulau yang kaya itu. Tuan-tuan berkulit putih berambut pirang itu tak habis akal. Mereka berunding, menentukan delegasi, untuk berangkat ke Lisbon, Portugal, menggali informasi berdaun-daun tentang keberadaan pulau kaya yang masyhur kala itu. peristiwa itu terjadi pada 1592.

Para pedagang Belanda itu bersepakat menunjuk Cornelis de Houtman muda, sebagai perwakilan mereka yang dipercaya berangkat ke Lisbon, Portugal. Negeri itu menjadi tujuan pertama yang didatangi, karena di masa itu hanya Portugal dan Spanyol yang menjadi penguasa di wilayah-wilayah yang kaya rempah-rempah.

Dua tahun lamanya, Cornelis de Houtman berada di Lisbon, Portugal. Kemudian dia kembali ke Belanda. Cornelis telah menemukan informasi yang sangat banyak, mengenai adanya wilayah di Asia yang kaya akan rempah-rempah.

Para pedagang Belanda itu berunding lagi. Mereka harus datang ke wilayah itu, untuk membuktikan informasi yang telah dikumpulkan oleh Cornelis de Houtman. Namun sebelum berangkat, para pedagang itu mendirikan Compagnie van Verre atau perusahaan jarak jauh.

Setahun sudah Compagnie van Verre beroperasi, tetapi tidak ada hasil memuaskan yang mereka peroleh. Perusahaan yang dioperasikan jarak jauh, sepertinya tidak bisa diharapkan. Para BOD perusahaan bersepakat, mereka tidak boleh berlama-lama mengendalikan Compagnie van Verre di Amsterdam, tetapi yang mereka perdagangkan justru ada di negeri seberang yang berjarak sekira 6.136 mil laut itu. Berdagang jarak jauh, sangat tidak efektif untuk kelangsungan Compagnie van Verre.

Perusahaan jarak jauh ini punya empat kapal besar yang kerap digunakan untuk berdagang. Kapal itu bernama Amsterdam, Hollandia, Mauritius, dan Duyfken. Pada 2 April 1595, empat kapal yang sedang berlabuh di Pelabuhan Amsterdam, harus angkat jangkar dan lepas tali. Banyak orang di pelabuhan melepas keberangkatan empat kapal yang berada di bawah kendali Compagnie van Verre itu.

Cornelis de Houtman, salah seorang yang berada dalam pelayaran ekspedisi empat kapal tersebut. Banyak orang Belanda yang mati dalam pelayaran tersebut. Kematian yang sangat memalukan, karena hanya terserang sariawan, akibat kurangnya makanan. Lantaran masalah itu, perkelahian antara para kapten kapal beserta anak buahnya, harus berkelahi dengan para pedagang di atas kapal. Banyak yang terbunuh. 

Kapal-kapal itu terpaksa singgah di Pulau Madagaskar. Enam bulan lamanya kapal-kapal Belanda itu buang sauh di Madagaskar. Banyak masalah yang mereka hadapi di teluk itu. Banyak orang Belanda mati sehingga Teluk Madagaskar itu dikenal sebagai kuburan Belanda.

Tiba di Banten

Setelah enam bulan di Madagaskar, ekspedisi Cornelis de Houtman memutuskan kembali berlayar. Tujuannya ke Banten seperti informasi yang ia peroleh di Lisbon, Portugal tempo itu. Tepat pada 27 Juni 1596, ekspedisi Cornelis de Houtman berhasil tiba di Banten. Penduduk Banten bersuka cita menyambut kedatangan Amsterdam, Hollandia, Mauritius, dan Duyfken.

Suka cita itu tak berlangsung lama. Para anak buah kapal Belanda itu menunjukan sifat aslinya. Tabiat kasar orang Belanda itu membuat Sultan Banten marah besar. Orang Portugis yang memang sudah lebih dulu ada di Banten juga tak suka dengan tabiat orang Belanda yang kasar itu.

Sultan Banten berkoalisi dengan petugas Portugis. Mereka mengusir kawanan Cornelis de Houtman. Kapal-kapal Belanda itu akhirnya lepas tali, menarik jangkar dan pergi meninggalkan Banten. Mereka berangkat ke Pantai di Semenanjung Jawa.

Nasib buruk bagi Cornelis de Houtman. Kapal yang ia tumpangi dirampas bajak laut, dan pelayaran berlanjut hingga ke Bali. Di Negeri Dewata itu,  Cornelis de Houtman dan kawanannya bertemu dengan Raja Bali. Pembicaraan bisnis antara Cornelis de Houtman dan rombongan bersama Raja Bali dilakukan. Sampai pada 26 Februari 1597, para pedagang Belanda ini berhasil medapatkan lada di Bali. 

Ternyata, ekspedisi Cornelis de Houtman membawa dua maksud, yaitu:

  1. Monopoli perdagangan
  2. Ingin menguasai wilayah alias menjajah

Indikasi itu terbaca secara tersirat dari dari dua bentuk kontrak yang harus diteken oleh raja-raja di Nusantara yang sedang berkuasa kala itu.  Isi perjanjian itu adalah:

  1. Surat perjanjian panjang (long kontrak) dan pihak Belanda untuk menjamin eksistensi kerajaan  beserta keluarga raja dan petinggi kerajaan lainnya.
  2. Pihak kerajaan harus tunduk pada kekuasaan raja mahkota Belanda, dengan syarat raja harus lebih dulu menandatangani perjanjian pendek (korte verklaring).

Jika para raja tidak patuh pada perjanjian itu, konsekuensinya adalah akan diisolasi dan diperangi sampai tunduk dan patuh terhadap Belanda.

Di Moutong Tombolotutu Melawan

Beberapa tahun berselang setelah kontrak sepihak oleh Compagnie van Verre itu, masuklah bala tentara Belanda ke seluruh pelosok Nusantara. Belanda juga merangsek masuk hingga ke Kerajaan Moutong. Peristiwa itu terjadi pada abad ke 18.

Di Moutong, ada seorang tokoh penting yang sangat masyhur di masyarakat. Sosoknya yang sederhana dan suka membantu rakyat, membuat orang Moutong patuh padanya dan menjadikannya sebagai raja. Tombolotutu adalah keturunan dari Raja Massu, raja ketiga di Kerajaan Moutong.

Idrus Rore, salah seorang penulis Buku Bara Perlawanan di Teluk Tomini mengisahkan, sosok Tombolotutu adalah seorang raja tetapi bukan raja. Menurutnya, di mata masyarakat, Tombolotutu adalah seorang raja, karena diangkat oleh masyarakat dan tidak pernah dilantik oleh Belanda. Berbeda dengan banyak raja lainnya di Nusantara, yang berkuasa karena diangkat oleh Belanda.

“Tombolotutu bukan sekadar raja, tetapi Tombolotutu juga berjuang mengusir orang Belanda yang datang hendak menguasai wilayah itu. Tombolotutu, bukanlah seorang pengkhianat,” katanya.

Selain sebagai raja yang bukan dikukuhkan oleh Belanda, Tombolotutu juga dikenal sebagai orang kaya di usianya yang masih 17 tahun. Tombolotutu adalah seorang pedagang besar kala itu. Jika situasi itu terjadi sekarang, boleh jadi Tombolotutu muda itu sudah menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).

Di usianya yang masih 20 tahun, Tombolotutu telah diangkat masyarakat setempat, untuk meneruskan tahta ayahnya sebagai Raja Moutong. Meski dengan status sosial yang tinggi itu, tapi Raja Tombolotutu tak berjarak dengan rakyatnya. Sifat itu menurun dari ayahnya, Raja Massu, Raja Moutong yang ke tiga.

Perang 11 Hari di Istana Raja Tombolotutu

Belanda yang punya syahwat besar ingin menguasai dan memonopoli perdagangan di pesisir Teluk Tomini dan mau menguasai Kerajaan Moutong, tak direken oleh Raja Tombolotutu. Long Kontrak dan Korte Verklaring yang disodori Belanda, tak mau diteken oleh Raja Tombolotutu. Dia menentang para kolonialis itu.

Perlawanan Raja Tombolotutu sudah dimulai saat penolakan Long Kontrak dan Korte Verklaring. Peristiwa perlawanan itu terjadi pada 1898 hingga 1904. Kontrak yang diteken oleh Raja Tombolotutu itu membuat Belanda marah besar. Penjajah itu kemudian mengisolasi Kerajaan Moutong.

Belanda menenggelamkan semua kapal yang berlabuh di Pelabuhan Moutong. Seluruh hasil bumi para pribumi di dalam kapal ikut tenggelam. Belanda hanya mau hasil kebun rakyat dijual kepada mereka, dengan harga yang sudah ditentukan oleh Belanda. Belanda mau memonopoli.

Raja Tombolotutu naik pitam. Kemarahannya meledak. Kemarahan Raja Tombolotutu disokong rakyatnya. Kemarahan Raja Tombolotutu, akhirnya menjadi tsunami perlawanan rakyat Moutong terhadap Belanda. Oktober 1898, menjadi awal perlawanan Raja Tombolotutu dan rakyatnya.

Perang 11 hari meletus di Istana Raja Tombolotutu di Lobu. Raja Tombolotutu dan rakyatnya tak punya peralatan perang yang memadai. Raja Tomboloutu kalah perang, tapi ia navatu (kepala batu) dan tak mau takluk dengan Belanda. Tekadnya, penjajah harus angkat kaki dari Moutong. Diputuskanlah untuk melakukan perang gerilya bersama rakyatnya.

Jauh sebelum Jenderal Sudirman mempraktikan Strategi Perang Gerilya melawan Belanda, nun jauh di wilayah utara Sulawesi Tengah, Raja Tombolotutu telah lebih dulu mempraktikkannya. Strategi itu sangat mumpuni, karena Belanda tak berhasil menangkap apalagi menaklukannya.

“Saya bersumpah, tidak menyerahkan sejengkalpun tanah Moutong. Saya juga bersumpah, tidak akan memberikan satu gram emas pun kepada Belanda,” begitu sumpah Raja Tombolotutu.

Karena perang Gerilya, Raja Tombolotutu bersama pengikutnya meninggalkan Moutong. Pulau Walea di Kepulauan Togean, Tojo Unauna menjadi tempat berlabuh setelah kalah perang dengan Belanda. Di pulau itu, tepatnya di Walea Bahe, Raja Tombolotutu kembali menghimpun kekuatan.  

Tapi banyak pengkhianat. Para kaum munafik itu menjadi mata-mata Belanda. Persembunyian dan semua gerak-gerik Raja Tombolotutu dan pengikutnya, terdeteksi oleh Belanda.  Para penjajah itu mengirim pasukannya, mengejar Raja Tomboltutu dan bala tentaranya ke Walea Bahe. Raja Tombolotutu dan pasukannya melawan. Perang kembali terjadi di pulau itu enam hari lamanya.

Raja Tombolotutu menyusun siasat baru. Bersama pasukannya dan penduduk yang tersisa memutuskan meninggalkan Pulau Walea. Dengan semangat perlawanan yang membara, Raja Tombolotutu dan pasukannya pindah ke Bolano. Agustus 1900, Belanda mengetahui keberadaan Raja Tombolotutu dan pasukannya. Imperialis itu kembali menyerang Raja Tombolotutu. Tapi kali ini Belanda harus menanggung malu karena kalah.

Dendam Belanda kepada Raja Tombolotutu semakin membuncah. Mereka menyusun siasat baru dan setahun kemudian atau pada 1901, pasukan penjajah kembali menyerang Raja Tombolotutu dan pengikutnya.  Di perang ini, menurut Lukman Nadjamuddin, sebanyak 170 tentara Marsose (tentara elit Belanda) diterjunkan untuk melawan Raja Tombolotutu. Tapi Pasukan Tombolotutu sangat tangguh. Ia tak bisa dikalahkan.

Pada serangan itu, mengharuskan Raja Tombolotutu bersama istrinya, Pua Darawati yang sedang hamil, harus diungsikan oleh ke  Kerajaan Sojol. Di pengungsian itulah, Pua Darawati melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kuti Tombolotutu bergelar Datu Pamusu.

Datu Pamusu itu, kemudian disematkan kepada cucu Raja Tombolotutu yang kini menjabat sebagai Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Tengah. Datu Pamusu Tombolotutu yang akrab disapa Us.

Raja Tombolotutu tidak hanya berjuang di wilayah administrasi kerajaannya saja. Tetapi juga menjangkau ke wilayah lain di Sulawes Tengah. Bahkan ia harus mengarungi Teluk Tomini untuk melawan Kolonial Belanda. Gerakan Anti Belanda di Kepulauan Togean terlahir, karena Raja Tombolotutu. Belanda sampai pusing, karena Raja Tombolotutu tak bisa ditangkap.

Raja Tombolotutu juga melintasi Selat Makassar, bahkan mungkin sampai di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Dengan strategi perang gerilya, Raja Tombolotutu juga hutan dan ngarai, sampai ke Banawa, Donggala.

Sejarah mencatat, banyak perang melawan Belanda yang dipimpin Raja Tombolotutu. Dalam diskusi tentang sejarah perlawanan Raja Tombolotutu beberapa tahun lalu, Ketua Tim Riset Pengusulan Raja Tombolotutu sebagai Pahlawan asal Sulteng, Lukman Nadjamuddin menyebutkan nama perang itu adalah Perang Katabang Raja Basar di Lobu Moutong, Perang Dodoe di Gio Atas, Perang Bolano di Benteng Bajo dan Perang Dunduan di Tomini Popa.

Pahlawan Nasional, Anugerah yang Pantas Buat Tombolotutu

Perjuangan panjang Raja Tombolotutu yang didokumentasukan Dr Lukman Nadjamuddin bersama tim risetnya yang terdiri para peneliti lainnya  seperti Sunarto Amus, Idrus A. Rore, dan Wilman D. Lumangino dari Untad, Mohammad Sairin dari UIN Datokarama Palu, serta Fatma Saudo dari Universitas Haluoleo, Kendari itu berbuah hasil.

Riset tentang Tombolotutu yang dilakukan selama dua tahun (2015-2017) itu juga dibantu oleh sejumlah enumerator yang terdiri dari mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Untad dan Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Datokarama Palu. 

Dari hasil riset itu, yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Bara Perlawanan di Teluk Tomini” itu, mengharuskanPresiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Raja Tombolotutu. Gelar itu termaktub dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 109/TK/2021 Tentang Penganugerahan Pahlawan Nasional.

Keputusan Presiden itu telah diumumkan secara resmi oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, dalam konferensi pers yang disiarkan langsung melalui YouTube Channel Kemenko Polhukam, Kamis, 28 Oktober 2021. 

Dari ratusan nama yang diajukan, Presiden Jokowi hanya memutuskan empat tokoh pejuang sebagai Pahlawan Nasional, yaitu  Tombolotutu (Sulawesi Tengah), Sultan Aji Muhammad Idris (Kalimantan Timur), Aji Usmar Ismail (DKI Jakarta), dan Raden Arya Wangsa Kara (Banten).  

“Empat tokoh itu dipilih karena memenuhi syarat, seperti pernah berjuang hingga banyak melahirkan manfaat bagi kemajuan negara,” kata Mahfud MD dalam konferensi pers itu.

Menurut rencana, penyerahan gelar Pahlawan Nasional itu akan dilaksanakan pada Hari Pahlawan 10 November 2021 nanti di Istana Negara. Pihak keluarga akan diundang untuk menerima gelar tersebut.

Ketua Tim Riset Pengusulan Tombolotutu Sebagai Pahlawan Nasional, Dr. Lukman Nadjamuddin mengatakan, telah memprediksi Tombolutu akan mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional.

“Kakek dari Andi Mulhanan Tombolotutu, mantan Wakil Wali Kota Palu itu, bahkan diperbicangkan di Parlemen Belanda, karena perannya dalam perjuangan melawan kolonialisme. Dari aspek perjuangan, administrasi, serta ketokohan, sosok Tombolotutu layak menyandang gelar Pahlawan Nasional,” ujarnya.

Silsilah Tombolotutu ke Bawah

  1. Anak pertama dari Tombolotutu dan Pua Darawati bernama  Kuti Tombolotutu atau  Datu Pamusu.
  2. Datu Pamusu menikah dengan Andi Magi, melahirkan satu orang anak bernama Siti Sania.
  3. Siti Sania, dinikahkan dengan anak Raja Banawa, Laparenrengi Lamarauna (ayahnya almarhum Ardjad Lamarauna, mantan Bupati Donggala)
  4. Anak ke 2 dari Tombolotutu bernama Andi Aksa Tombolotutu, yang dinikahkan dengan Siti Ramlah Sunusi.
  5. Pernikahan Andi Aksa Tombolotutu dan Siti Ramlah itu melahirkan Mastuti, Hairunur, Andi Mulhanan Tombolotutu (Wakil Wali Kota Palu dua periode) dan Datu Pamusu Tombolotutu (kepala Pelaksana BPBD Sulteng).
  6. Anak ke 3 dari Tombolotutu bernama Abdul Madjid Tombolotutu, yang dinikahkan dengan Siti Zulaika Tiangso.
  7. Pernikahan Abdul Madjid dan Siti Zulaika Tiangso itu melahirkan Syamsurizal Tombolotutu (Bupati Parigi Moutong sekarang).
  8. Anak ke 4 dari Tombolotutu bernama M. Darjat Tombolotutu, menikah dengan Zaitun Mardjun (tante dari Longki Djanggola, mantan Gubernur Sulteng dua periode)
  9. Anak ke 5 dari Tombolotutu adalah Siti Rafiah, yang menikah dengan Marzuk Butudoka
  10. Anak ke 6 dari Tombolotutu adalah Maksum Tombolotutu yang menikah dengan Yusuf Djavara (asal Gorontalo). Dari pernikahan itu lahirnya Ilmawati Djavara, Mirna, Mus, Ivan dan Eni Yusnita)
  11. Kuti Tombolotutu atau Datu Pamusu ini menikah lagi dengan Haji Pangale, melahirkan H. Muhammadin Tombolotutu, Salah saeorang istrinya bermarga Borman,  yang dikarunia beberapa orang anak, di antaranya bernama Mahdan.
  12. Adik dari Muhammadin Tombolotutu bernama Badaruddin Tombolotutu, menikah dengan Ani Kangiden (Jawa Tondano – Jaton) dan sekarang tinggal di Tondano
  13. Kuti Tombolotutu atau Datu Pamusu juga menikah dengan Madawara Borman, namun tidak dikaruniai anak.

(Mohon maaf jika ada kekeliruan dalam silsilah ini)

Sumber tulisan ini sebagian dari buku Bara Perlawanan di Teluk Tomini, yang ditulis Dr Lukman Nadjamuddin dan kawan-kawan. *