SIANG ITU, matahari seakan berada sejengkal dari kepala. Seorang lelaki berkacamata Rayban, berdiri memegang jas berwarna gelap di tangan kiri, sembari menarik dalam-dalam sebatang rokok.

Lelaki itu bernama Andi Aksa Tombolotutu, putra dari Kuti Tombolotutu bergelar Datu Pamusu itu kemudian menunjuk hamparan seluas pandangan mata di Tinombo dan sekitarnya di Kabupaten Parigi Moutong.

Kepada Mulhanan, ayahnya berpesan: “Ini adalah tanah harapan. Jangan diolah, tapi boleh digarap untuk persawahan,” kata Andi Aksa Tombolotutu.

Di awal titahnya itu, tak ada yang paham maksudnya. Andi Mulhanan Tombolotutu, putra Andi Aksa Tombolotutu mengaku saat menyampaikan ini adalah tanah harapan, tak ada lagi yang bertanya maksudnya.

“Saya dan anak cucunya hanya tahu bahwa tanah harapan itu tak boleh diolah. Maka saya berpesan kepada saudara-saudara saya agar tidak diolah dan tidak mencari tahu apa maksudnya,” kata Kak Tony, sapaan akrab Andi Mulhanan Tombolotutu.

Waktu terus berjalan, beberapa saat kemudian masyarakat mafhum, tanah harapan tak boleh diolah, karena di tanah ini tersembunyi bijih logam mulai.

Di awal era Orde Baru, sekira tahun 1969, masyarakat di Tinombo dan Kasimbar mengolah emas di sekitar wilayah tersebut. Tetapi dengan cara tradisional. Mereka mendulang. Tak ada deru mesin dari excavator yang menggali lobang mengambil bijih emas untuk diolah.

Sekira 1971-1973, masyarakat setempat meninggalkan aktivitas mendulang emas. Itu terjadi seiring masuknya perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang mengolah kayu hitam alias Ebony.

Masyarakat ramai-ramai meninggalkan aktivitas mendulang, mereka mencari kayu hitam untuk dijual kepada perusahaan HPH. Warga meninggalkan emas kuning, beralih ke emas hitam.

Pasca reformasi, hadir perusahaan tambang emas di Moutong, Desa Lobu dan di Kasimbar Tinombo.

Kandungan emas di tanah harapan akhirnya kembali diolah. Padahal, seharusnya cukup diolah dengan cara underground, tetapi yang terjadi dilakukan dengan cara open field. Akibatnya banyak korban, karena tertimbun longsor dan lainnya.

Andi Mulhanan mengatakan, belakangan ayahnya berpesan untuk tidak mengolah tanah harapan, yaitu untuk tambang emas dan kayu hitam.

“Jika mengolah kayu hitam itu bagus, pasti semua rumah dan perabotan di rumah nenek moyang kita sudah menggunakan kayu hitam,” kata Mulhanan mengutip pesan ayahnya.

Banyak contoh, para pengusaha kayu hitam tak bertahan lama. Hanya beberapa saat menikmati hasil, kemudian bangkrut.

Itulah kemudian yang mengharuskan Mulhanan Tombolotutu tidak mau berusaha di tambang emas dan kayu hitam, meskipun banyak lokasi warisan keluarga mereka yang berisi logam mulia dan kayu hitam.

Pesan Andi Aksa Tombolotutu itu sejalan dengan semangat Tombolotutu, yang bersumpah untuk tidak menyerahkan satu gram emas pun kepada Belanda, sampai akhirnya ia diburu dan harus bergerilya melawan Belanda.

KEMBALI MEMAKAN KORBAN

Pada 24 Februari 2021 lalu, tiga warga tewas dan 26 lainnya tertimbun, karena longsor di tambang emas Desa Buranga Ampibabo, Parigi Moutong.

Pada 13 Februari 2022, tragedi berdarah kembali terjadi. Kali ini, seorang pengunjuk rasa yang memprotes kehadiran perusahaan tambang emas, tewas. Diduga karena ditembak, entah oleh petugas keamanan atau oleh pihak lain. Investigasi menguak kebenaran masih sedang berlangsung.

Kapolda Sulteng, Inspektur Jenderal Polisi, Rudy Sufahriadi telah memerintahkan anggotanya di Bidang Propam untuk mengusut itu.

“Jika ada anggota saya yang salah, akan ditindak tegas,” kata Kapolda.

Kapolda juga meminta maaf atas tewasnya seorang pengunjuk rasa bernama Erfaldi (21 tahun) tersebut.

Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura menegaskan, perkara Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trio Kencana yang dimasalahkan warga, bukan menjadi kewenangannya.

“Saya tidak berwenang mencabut IUP, yang punya wewenang itu adalah Kementerian ESDM,” tegas Gubernur Rusdy Mastura.

Meski sudah mengantongi IUP, tetapi perusahaan yang masalahkan itu, kata Gubernur, belumlah operasional.

“Yang operasional justru perusahaan tambang ilegal,” tegasnya.

Sebelumnya, Gubernur Sulteng memang telah berjanji bertemu warga yang berunjuk rasa itu pada Senin 14 Februari 2022.

“Saya tidak bisa menemui warga di hari Sabtu kemarin, karena sedang kunjungan kerja bersama Kapolda dan Danrem. Maka saya mengutus Tim Ahli menemui pendemo untuk menyampaikan pertemuan pada Senin ini,” jelas Gubernur.

Tetapi, pertemuan belum sempat terwujud, para penemu telah memblokade Jalan Trans Sulawesi di Tinombo Selatan. Arus lalulintas terganggu. Negosiasi dengan petugas keamanan tak berbuah hasil. Ahad dini hari, terjadilah tragedi berdarah yang tak diharapkan. Erfaldi tewas dalam proses pembubaran pendemo.

“Saya percaya, Kapolda Sulteng bisa menyelesaikan masalah tersebut,” tegas Gubernur Rusdy Mastura.

Gubernur juga telah menyampaikan berbelasungkawa dan mengirim uang duka kepada keluarga korban di Desa Tada, Parigi Moutong.

“Saya bertanggung jawab atas masalah itu, tetapi saya yakin Kapolda juga menyelesaikannya,” kata Gubernur.

MINTA INTERVENSI KAPOLRI

Kasus kematian pendemo telah terjadi. Apapun alasannya, tindakan yang menewaskan warga sipil dalam aksi unjuk rasa adalah kesalahan.

Tokoh masyarakat Parigi Moutong, Amrullah Kasim Almahdali meminta Kapolri turun tangan menyelesaikan kasus tewasnya Erfaldi dalam aksi unjuk rasa tersebut.

Dia juga meminta masyarakat tidak mudah terprovokasi, karena banyak kepentingan dalam kasus tambang di wilayah itu.

Walhi Sulawesi Tengah mengecam tindakan kepolisian dalam pembubaran aksi massa penolakan tambang emas di Parigi Moutong yang berujung kematian Erfaldi.

Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Eknas Walhi, Fanny Tri Jambore, mendesak Kapolri melakukan evaluasi secara serius di tingkat jajaran Polri.

Dia juga smeminta Kapolri mengusut tuntas tewasnya Erfaldi saat pembubaran masa aksi oleh aparat kepolisian.

“Kejadian berulang ini harus dihentikan. Kapolri harus memberi perhatian serius berkaitan dengan konflik-konflik agraria dan lingkungan,” seru Fanny. (*)