Oleh: Fransiscus Manurung
Praktisi Hukum di Kota Palu
DOKTRIN Judicial Review – pengujian konstitusionalitas undang-undang – lahir dari putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Marbury vs Madison pada tahun 1803.
Gagasan yang terkandung dalam putusan inilah yang kemudian menjadi critical juncture – titik kritis – yang membuat sejarah baru dalam perkembangan hukum dan sistem peradilan di dunia.
Perkara tersebut bermula dari permohonan William Marbury ke Mahkamah Agung. Ia telah diangkat sebagai Justice of the Peace di Washington, D.C. oleh Presiden John Adams, – Presiden kedua AS – tetapi surat keputusannya tidak diserahkan oleh James Madison, Secretary of State AS kepadanya.
Madison beralasan, pengangkatan Marbury menjadi Justice of the Peace itu tidak sah, karena surat keputusan pengangkatannya ditandatangani oleh Presiden John Adams, beberapa saat sebelum serah terima jabatan kepada Presiden Thomas Jefferson, penggantinya.
Marbury lalu mengajukan petisi, agar Mahkamah Agung menerbitkan a writ of mandamus, untuk memaksa James Madison menyerahterimakan surat keputusan tersebut.
Writ of mandamus adalah surat perintah paksa, yang dikeluarkan pengadilan yang bersifat “luar biasa” karena dibuat sebelum perkara disimpulkan.
Yang menjadi persoalan bagi Mahkamah Agung AS pada waktu itu, adalah menurut Section 13 UU Kekuasaan Kehakiman (Judiciary Act 1789), Mahkamah Agung tidak berwenang mengeluarkan writ of mandamus, untuk menyelesaikan perselisihan dalam perkara tersebut.
Kewenangan untuk memaksa pemerintah melakukan tindakan tersebut, bahkan berada di atas dan di luar UU Kekuasaan Kehakiman.
Dengan kata lain, tidak satu pun ketentuan yang menyebut adanya kewenangan pengadilan, untuk menguji atau menilai produk hukum cabang kekuasaan lainnya, dan memungkinkan pengadilan menyatakan tindakan kekuasaan lainnya sebagai sesuatu yang inkonstitusional.
Lantas, apa yang dilakukan oleh Mahkamah Agung AS?
Mahkamah Agung terlebih dahulu memutus rantai yang membelenggu kebebasan dirinya, dengan mengadili norma hukum dalam Section 13 UU Kekuasaan Kehakiman, sebelum mengadili pokok perkara.
Dalam pertimbangan hukum, putusannya atas perkara Marbury vs Madison, Ketua Mahkamah Agung AS John Marshal menyatakan, pertama; Mahkamah Agung berwenang menilai, menguji konstitusionalitas undang-undang dan menyatakan Section 13 Judiciari Act 1789, bertentangan dengan UUD Amerika Serikat.
Kedua; jika suatu undang-undang terbukti bertentangan dengan konstitusi, maka undang-undang itu harus dinyatakan tidak berlaku sebagai hukum yang mengikat untuk umum. Bahkan, “…a legislative act contrary to the Constitution is not law“. UU yang bertentangan dengan UUD, bukanlah hukum.
Detik-detik ketika perkara Marbury vs Madison diputuskan, menjadi titik kritis penyebab terjadinya the turning point in the judicial history dalam perjalanan sejarah hukum, dan peradilan di dunia, yang pengaruhnya terus diakui sampai sekarang, tak terkecuali di Indonesia.
Putusan Marbury vs Madison itulah landmark decission, putusan pengadilan yang bersejarah dan “menyejarah” pembuka tirai peradaban baru, peradaban yang lebih modern dalam kehidupan bernegara.
Di masa kini, peradilan konstitusi di negara-negara tua demokrasi, tidak lagi hanya sekedar “tukang uji UU” (pengujian konstitusionalitas), tetapi sudah melangkah jauh dengan mengambil peran menjadi penuntun bagi bangsanya, mengawal demokrasi dan tradisi negara hukum modern, bahkan menjadi pengawal etika politik dan etika bernegara.
Di Indonesia, peradilan konstitusi, dalam arti judicial review on the constitutionality diadopsi ke dalam ketatanegaraan pada tahun 2002, melalui amandemen ketiga UUD 1945.
Artinya, peradilan konstitusi Indonesia lahir dari rahim reformasi. Putra kandung reformasi dalam rumpun keluarga besar demokrasi.
Dengan demikian, peradilan konstitusi Indonesia tidak hanya sekedar “tukang uji UU” tetapi juga berperan – melalui perkara yang diadilinya-sebagai guru bangsa, mengawal jalannya demokrasi, penuntun kepemiluan, yang semua peran itu dimanifestasikan dalam putusan-putusannya.
Akhirnya kita mengerti, bahwa putusan MK Nomor 90 adalah wajah peradilan konstitusi kita. Ia juga menjadi wajah demokrasi kita, dan tentunya wajah kita semua. Artinya, bila ada kekeliruan, kita perbaiki bersama-sama.
Peradilan konsitutusi Indonesia, adalah milik kita semua.
Salam Demokrasi !
Tinggalkan Balasan