Oleh: Suparman *)
Otoritas pemerintahan di berbagai negara saat ini, terus berjibaku melawan pandemi Covid-19. Pemerintahan tidak boleh tinggal diam, menunggu berharap pandemi ini berakhir sendiri. Ancaman ‘twin crisis’ (krisis kembar) yaitu kesehatan dan ekonomi, akibat Covid-19 sudah ada di depan mata. Pandemi Covid-19 tidak akan berakhir dalam waktu singkat, karena belum ada vaksin Covid-19 ini.
Di sisi lain, tentu saja aktivitas ekonomi tidak boleh berhenti total. Berhenti total aktivitas ekonomi akan makin memperburuk situasi masyarakat. Karena itu, pembuat kebijakan di berbagai negara, membuat keputusan stimulus ekonomi untuk bisa menggerakan dan memutar kembali roda ekonomi. Penyelamatan ekonomi harus dibuat, meski amukan wabah Corona tidak ada tanda-tanda berhenti. Alasan dianggap rasional dan masuk akal, roda ekonomi tetap produktif, dan aktivitas ekonomi dijamin tetap aman. Oleh karena itu, keniscayaan adanya protokol kesehatan, yang memastikan gerak ekonomi ‘hidup berdamping’ dengan pemulihan kesehatan.
Dampak besar pandemi ini sudah membuat kegiatan bisnis dan investasi tersendat. Aktivitas bisnis dan investasi secara fisik tidak dapat dilakukan secara bebas. Terlihat kegiatan industri pengolahan (manufaktur) yang terdampak paling besar. Begitu pula, kegiatan bisnis yang memerlukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, harus melewati prosedur panjang. Prasyarat perjalanan orang dan mobilitas barang mesti dilengkapi dokumen kesehatan. Sebelumnya, berbagai jenis moda transportasi tidak dapat beroperasi secara optimal, bahkan sempat dihentikan untuk menahan penyebaran virus Covid-19 ini.
Padahal, saat ini dunia semakin tidak terbatas. Pertemuan bisnis dapat berlangsung di mana saja, namun karena adanya Covid-19 ini, semua harus dikurangi. Beberapa sektor ekonomi seperti pariwisata, industri pengolahan, dan transportasi mengalami pembatasan. Berbagai usaha di sektor informal seperti usaha mikro kecil dan menengah menerima pukulan telak.
Untuk mengantisipasi dampaknya tidak makin mendalam dan meluas, berbagai negara harus juga ikut bergerak cepat mengeluarkan stimulus ekonomi menghadapi pandemi Covid-19 ini. Berbagai instrumen fiskal dikeluarkan, seperti penundaan pajak, pengeluaran bantuan sosial, dana talangan bagi korporasi dan BUMN, termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Pandemi Covid-19
Paul Romer, Profesor Ekonomi dari Universitas New York, dan Alan M. Garber, Rektor Universitas Harvard (2020), menulis opini yang dimuat New York Times berjudul Economy Die From Coronavirus. Menurut mereka, saat ini pandemi Covid-19 adalah ancaman paling berat. Pandemi ini telah memicu terjadinya krisis kesehatan bersama krisis ekonomi. Pemerintah harus bisa menyelesaikan krisis kesehatan sekaligus pemulihan ekonomi secara bersama.
Apabila kebijakan ini tidak ditempuh secara simultan bisa menimbulkan risiko lebih besar dan lebih lama. Pemberlakuan pembatasan sosial selama ini sebagai tindakan menyelamatkan nyawa, namun juga sekaligus menghentikan aktivitas ekonomi.
Di Indonesia, pandemi Covid-19 sudah memberi ‘efek domino’ secara sosial, ekonomi, dan keuangan. Pandemi ini telah menekan aktivitas ekonomi dari sisi permintaan, maupun sisi penawaran. Disebabkan, penyebaran pandemi ini berlangsung cepat, masif, dan meluas. Apalagi belum ada vaksin dan obat Covid-19 ini.
Di Indonesia, pandemi Covid-19 sudah memberi ‘efek domino’ secara sosial, ekonomi, dan keuangan. Pandemi ini telah menekan aktivitas ekonomi dari sisi permintaan, maupun sisi penawaran. Disebabkan, penyebaran pandemi ini berlangsung cepat, masif, dan meluas. Apalagi belum ada vaksin dan obat Covid-19 ini.
Pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial (social distancing), untuk menjaga masyarakat tidak terinfeksi virus. Membuat para pekerja sebagian besar juga harus dirumahkan, tak terkecuali bagi mereka yang bekerja di sektor informal. Dampaknya, tentu saja kinerja ekonomi dan bisnis terus menurun. Kemampuan konsumsi masyarakat mulai terganggu, karena adanya kendala distribusi pangan. Aktivitas produksi dan industri sebagian besar berhenti, karena pekerja dirumahkan.
Distribusi kebutuhan pangan dan barang-barang penting lain juga ikut terhenti. Investasi yang melibatkan modal besar, dan manusia dalam jumlah banyak terhambat. Kinerja ekspor dan impor negara sudah terkontraksi. Di Sektor keuangan, mulai turunnya kepercayaan investor, dan terjadi flight to quality (Situasi di mana banyak investor menjual atau mengurangi pembelian investasi yang kurang layak kredit dan sekaligus membeli atau menambah pembelian investasi yang paling layak kredit). Selain itu juga mulai naiknya angka kredit macet yang akan melilit perbankan.
Stimulus Ekonomi
Stimulus ekonomi adalah gagasan ekonom abad ke-20, John Maynard Keynes. Menurut Keynes, stimulus akan mampu mendorong kinerja sektor swasta, dengan adanya kebijakan moneter atau fiskal yang dijalankan. Stimulus ekonomi diyakini mampu menggerakan kembali aktivitas ekonomi. Karenanya, stimulus ekonomi sudah dilakukan di banyak negara, antara lain Amerika Serikat, Australia, Singapura dan Malaysia. Amerika Serikat, sudah mengeluarkan stimulus ekonomi berupa pengeluaran darurat, pengembangan vaksin, penurunan suku bunga, transfer tunai, dan fasilitas pinjaman untuk UMKM.
Perbaikan kinerja ekonomi diharapkan juga memperbaiki kinerja kesehatan. Otoritas kebijakan ekonomi dan kesehatan mampu memastikan tidak terjadinya kontra-produktif, antara perbaikan kesehatan publik dengan pemulihan ekonomi dan bisnis. Kecepatan perbaikan kesehatan masyarakat sekaligus mempercepat kembalinya ekonomi bergerak, dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Hal yang hampir sama dilakukan pemerintah Australia dengan stimulus ekonomi berupa insentif pajak, bantuan langsung, jaring pengaman sosial, jaminan pinjaman untuk bisnis, penurunan suku bunga, dan injeksi ke bank sentral.
Tak ketinggalan, Singapura sudah mengalokasikan stimulus ekonomi untuk bantuan langsung, pencegahan pemutusan hubungan kerja, subsidi upah, transfer ke rumah tangga, penguatan skema pendanaan, dan moratorium pembayaran utang.
Malaysia juga ikut mendorong ekonomi negaranya dengan mengeluarkan stimulus ekonomi untuk bisnis dan individu terdampak, bantuan pembayaran upah pekerja serta subsidi listrik, dan penurunan suku bunga.
Di Indonesia, Pemerintah sudah mengeluarkan stimulus ekonomi untuk menghadapi pandemi dengan anggaran sebesar Rp688,20 triliun (Menko Perekonomian, 2020). Stimulus ekonomi ini dialokasikan untuk berbagai sektor.
Pertama, pemulihan kesehatan sebesar Rp87,55 triliun antara lain untuk penanganan virus, insentif tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran jaminan kesehatan, gugus tugas, dan insentif perpajakan.
Kedua, perlindungan sosial sebesar Rp203,90 triliun antara lain untuk program keluarga harapan, bantuan sembako, bantuan sosial, kartu pra kerja, listrik, logistik, dan bantuan tunai.
Ketiga, insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun antara lain untuk keringanan pajak penghasilan, pengurangan angsuran, dan penurunan tarif pajak badan.
Keempat, alokasi bagi UMKM sebesar Rp123,46 triliun antara lain untuk subsidi bunga, penempatan dana, penjaminan untuk modal kerja, dan pembiayaan investasi.
Kelima, pembiayaan korporasi sebesar Rp44,57 triliun antara lain untuk restrukturisasi padat karya, belanja padat karya, penjaminan modal kerja padat karya, dan talangan modal kerja.
Keenam, pendanaan sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah sebesar Rp106,11 triliun untuk program padat karya K/L, insentif perumahan, pariwisata, pemulihan ekonomi, cadangan DAK fisik, fasilitas pinjaman daerah dan cadangan perluasan.
Stimuls ekonomi ini diharap sebagai solusi melawan pandemi Covid-19, sekaligus memutar kembali roda ekonomi menjadi lebih cepat. Pertama, pemulihan kondisi kesehatan publik dikerjakan dengan pemulihan ekonomi dan aktivitas bisnis secara simultan.
Perbaikan kinerja ekonomi diharapkan juga memperbaiki kinerja kesehatan. Otoritas kebijakan ekonomi dan kesehatan mampu memastikan tidak terjadinya kontra-produktif, antara perbaikan kesehatan publik dengan pemulihan ekonomi dan bisnis. Kecepatan perbaikan kesehatan masyarakat sekaligus mempercepat kembalinya ekonomi bergerak, dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Kedua, memprioritaskan penyelamatan sektor-sektor ekonomi yang paling parah terdampak seperti pariwisata, transportasi dan UMKM. Namun, juga tetap menjaga kinerja sektor-sektor ekonomi lainnya seperti Pertanian, Perikanan, Perkebunan, dan Peternakan. Kinerja sektor ini dalam menyediakan pangan sehat bagi masyarakat.
Ketiga, stimulus ekonomi itu ditujukan untuk menyelamatkan tenaga kerja dari ancaman pemutusan hubungan kerja. Pemutusan kerja tentu akan menaikkan angka pengangguran dan menurunkan produktivitas. Penyelamatan ini untuk menjaga penduduk tetap bekerja, sekaligus juga menjaga daya beli masyarkat. Masalahnya, naiknya pengangguran dan penduduk miskin akan memicu masalah-masalah ekonomi dan sosial lainnya. Stimulus ekonomi ini diharapkan dapat memacu produksi, melancarkan distribusi dan tersedianya konsumsi bagi masyarakat.
*) Akademisi Universitas Tadulako
Tinggalkan Balasan