JAKARTA, KAIDAH.ID – Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan, rekonsiliasi dan legacy keberlanjutan pemerintahan Presiden Jokowi, menjadi basis argumen menentukan calon wakil presiden (cawapres) pasangan Prabowo Subianto pada Pemilu 2024 mendatang.
“Cawapres harus mewakili dua alasan itu, yaitu siapa yang mewakili rekonsiliasi dan siapa mewakili legacy yang komit meneruskan pemerintahan Jokowi,” kata Fahri Hamzah.
Dengan alasan rekonsiliasi dan legacy itu, kata dia, maka figur yang tepat untuk mendampingi calon presiden (capres) Prabowo Subianto adalah Walikota Solo Gibran Rakabumi Raka, putera sulung Jokowi.
“Kalau capresnya Prabowo, siapa cawapres, ya Gibran. Ada wajah Pak Jokowi di dalamnya. Sehingga karena alasan rekonsiliasi dan legacy, mengambil Gibran itu sempurna dan kecocokannya sangat kuat,” nilainya seperti dirilis partaigelora.id.
Meski begitu, dalam rapat Koalisi Indonesia Maju (KIM) pada Jumat, 13 Oktober 2023 di kediaman Prabowo Subianto, baru disepakati empat kriteria penentuan cawapres, yaitu mewakili Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan luar Jawa.
“Semua pimpinan parpol kompak empat kriteria, kita akan rapat lagi pekan depan. Pekan depan penentuan satu nama, makanya semua pimpinan parpol dilarang meninggalkan Jakarta sampai tanggal 25 Oktober,” ungkap Fahri.
Fahri menjelaskan, dalam rapat KIM Jumat malam, terungkap, bahwa nama Gibran dalam survei-survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei menunjukkan tren kenaikan signifikan.
“Di Jawa Tengah, survei Gibran itu tertinggi untuk calon gubernur. Kalau untuk survei wakil presiden, sudah nomor 6 atau 4. Gibran itu, trennya naik surveinya,” jelas Fahri.
MEWAKILI DUA GENERASI
Fahri berpandangan, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka adalah pasangan yang tepat, saling melengkapi dan mewakili dua generasi.
Gibran akan menjaring pemilih dari kalangan milenial, disamping itu juga Walikota Solo tersebut menjadi jalan tengah kebuntuan penentuan cawapres yang diusulkan parpol pendukung KIM.
“Tapi Gibran ini bukan hanya sekadar pelengkap saja, ia juga mewakili dua generasi. Selain itu, kelebihannya lagi adalah bisa menjawab banyak isu pemerintah daerah, karena lawan Prabowo itu, semua berlatar Pemda. Jadi kecocokan pasangan Prabowo-Gibran itu sangat kuat,” tegas Fahri.
Fahri menegaskan, elektablitas Prabowo menjelang Pilpres 2024 semakin tinggi meninggalkan dua kandidat lainnya, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
“Prabowo sudah terlalu kuat sekarang, dia diuntungkan karena berada di tengah. Sebab, pemilih kiri nggak mungkin milih capres kanan, dan capres kanan nggak mungkin milih capres kiri,” ujarnya.
Prabowo, lanjut Fahri, juga sudah terang-terangan akan melanjutkan pemerintahan Jokowi, karena Prabowo saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, berbeda dengan Ganjar Pranowo yang tidak berada di kabinet.
“Makanya Prabowo mengatakan, kami tidak ragu sebagai keberlanjutan dari kabinet Jokowi. Kalau Ganjar, susah mengklaim keberlanjutan kabinet Jokowi. Dia tidak di kabinet, bukan anggota kabinet. Kalau Prabowo adalah anggota kabinet selama 5 tahun, dia mengikuti semua rapat kabinet lima tahun ini,” paparnya.
GANJAR BUKAN KEBERLANJUTAN JOKOWI
Fahri juga menampik klaim PDIP yang mengatakan, Ganjar sebagai kelanjutan dari Jokowi, hanya karena Jokowi adalah kader dan petugas partai PDIP. Sebab, kabinet Jokowi tidak hanya diisi PDIP, tapi juga ada parpol lain.
“Inilah sebenarnya asal muasalnya, kenapa Prabowo ingin dengan PDIP, karena semua koalisi yang dipimpin Jokowi harus solid. Tapi sayangnya, PDIP keluar, Nasdem keluar dan PKB keluar,” sebut Fahri.
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini mengatakan, seorang capres yang diusung parpol, harusnya memiliki ideologi atau mewakili gagasan, sehingga track recordnya dapat diketahui. Namun, mekanisme tersebut tidak diatur dalam Pemilu 2024.
“Kalau sekarang orang yang muncul itu, hanya untuk melengkapi tiket. Dan ujug-ujug orang yang berpisah jauh seperti PKS dan PKB, tiba-tiba dipaksa kawan. Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar itu pisah jauh, dipaksa oleh tiket,” katanya.
Dalam sistem yang relevan sekarang, lanjut Fahri, yang mengikuti kontestasi seharusnya adalah yang berkuasa melawan antitesa dari pemerintahan Jokowi sekarang, atau lawan politiknya.
Sebab, Prabowo dianggap mewakili gagasan kabinet Jokowi, yang memiliki program besar-besar seperti pembangunan IKN, kereta cepat, infrastruktur dan lain-lain. Sementara lawannya, yang menolak program-program tersebut.
“Kalau Prabowo mengasosiasikan kelanjutan Jokowi, maka lawannya harusnya antitesanya Jokowi, yaitu Anies Baswedan saja. Sekarang yang aneh, Anies Baswedan mengatakan, koalisi perubahan, tetapi Nasdem dan PKB masih di dalam, ini yang membingungkan, sementara PDIP ngotot mau perang terbuka,” katanya. (*)
Tinggalkan Balasan